Alhamdulillah


Setelah semua kerja keras..
Tenaga
Uang
Air mata
Doa
dan (saya cukup yakin pada suatu titik,)
Darah

Kata yang ditunggu-tunggu..
terucapkan juga.

Alhamdulillah...

Lembaran baru akan dimulai segera.


Hilang


Kita pernah menjejak di atas pasir.

Kau dan aku,
mengukir rongga memori

Namun seperti apapun yang terekam
di atas pasir,
Kita
hilang dalam sekejap.
Terhapus jejak air,
mengikisnya jauh ke tengah samudera.

Gelitik




Apakah benar, birunya langit tergelitik putih awan? Mungkin saja awan geli pada langit biru, sehingga bentuknya seperti itu.


Penunggu Cakrawala

Lama sudah aku menjadi pengamat kisah cinta yang kau tuang berdua dengannya di ranah semesta. Membaca puisi-puisimu padanya yang membuatku berdegup kencang seolah mereka ditujukan untukku. Padahal bukan. Mereka untuk pengisi mimpimu. Pelagu melodimu. Bukan aku.

Tak terindahkan lagi aku mulai menyusun romansa kecil di sudut kepalaku. Tentang dirimu yang tak pernah melihat ke arahku. Pandanganmu selalu tertuju ke cakrawala. Ke romantika senja. Kepada dirinya yang sempurna, yang membuatmu sedih karena di dalam ceritamu, kau selalu mengejarnya. Selagi ia selalu beberapa langkah di depan, hanya sesekali menunggumu mensejajarinya, lalu kemudian berlari lagi beberapa depa.

Lambat laun ia tak hanya menjadi senja. Ia bercita-cita menjadi fajar. Bersikeras memaksa sayap merahnya menjadi keemasan. Kemilaunya menyilaukan.

Bahkan di tengah usahamu mengejarnya, kau terengah-engah. Ia tak lagi berlari, ia telah mengembangkan sayapnya, belajar terbang. 'Hei,' ujarmu, 'Kau mungkin bisa terbang karena kau serupa malaikat. Tapi aku manusia fana! Yang kau cintai karena ketaksempurnaan.'

Kau mencoba menyusulnya, berusaha membelai angkasa. Namun kau terjatuh di beberapa kesempatan: sayap kayumu tak jua membuatmu mampu melawan gravitasi.

Pada masa seperti ini aku, yang hanya mampu memandangmu di kejauhan, seringkali memekik tertahan, menahan napas, menahan rasa sakit dari dalam. Melihatmu terkapar tak berdaya seperti itu, aku harus memalingkan wajah berulang-ulang kali.

Pada masa seperti ini aku, yang wajahnya tak kau kenali, hanya bisa menggigit bibir penuh harap, memanggil-manggil namamu dalam hati. Berharap kau akan melihat ke arahku. Aku, yang tak berusaha menjadi siapa-siapa. Dan tak berharap kau menjadi siapa pun. Selain kamu, dan kamu seorang.

Suatu hari nanti kau akan lelah mencoba menyusul dirinya, yang tak bisa kau rantai ke tanah untuk bisa bersanding denganmu. Suatu hari nanti, kau akan berjalan lagi seperti biasa tanpa hiraukan dirinya dan sayapnya yang keemasan. Kau akan menjadi dirimu lagi, yang selalu kukagumi dan kuanggap sempurna, Sang Penunggu Cakrawala.

Lalu kau akan menemukanku di jalan setapak yang kau lalui. Suatu hari nanti.

Terima kasih untuk inspirasi.


Ruang

Setiap dari kita pasti memilikinya. Suatu ruang tak tersadari di dalam labirin keberadaan kita. (Kusebut labirin karena apa yang membentuk keutuhan seseorang manusia begitu rumit. Begitu kompleks. Multidimensi.) Dan keberadaannya mempengaruhi keberadaan kita, karena tanpanya kita bukan manusia seutuhnya. Seperti kepingan puzzle yang jika hilang tak akan mampu membentuk gambar yang utuh. Seperti menarik satu blok terbawah di permainan Uno Stacko, tanpanya keseluruhan dirimu bisa runtuh.

Ruang itu, adalah ruang di mana kau menolak untuk tumbuh dewasa. Tak peduli seberapa jauh kau telah berjalan di atas dunia, sebagian kecil dari dirimu pasti merindukan ruangan tersebut. Dan jika kau mau menyelam cukup jauh ke dalam dirimu, kau akan temukan ruang itu. Selalu sama seperti terakhir kali kau mengunjunginya. Ruang itu tak pernah berubah. Dirimu-lah yang berubah.

Kau bisa berkelana, berkeliling dunia dengan angkuh dan membanggakan keberanianmu. Mungkin kau punya seluruh pengetahuan yang membuatmu menjadi seorang cendekiawan dengan intelektualitas di atas rata-rata. Tetapi kau tak bisa mengelak, bahwa ruang itu ada. Ia begitu sederhana: ia hanya ada. Kau bahkan mungkin tidak menyadarinya, tetapi keberadaannya begitu dekat, hingga tercermin dalam raut wajahmu, dalam ekspresi emosimu; begitu pekat, hingga ia membayangi saat kau berkontemplasi; begitu lekat, hingga ia menaungi pilihan-pilihan yang kau ambil dalam jalan kehidupan.

Bayangkan raut wajah seorang anak kecil yang berbinar-binar ketika ia mendapat mainan baru. Lalu ia pamerkan mainan baru itu kepada teman-teman di kelasnya. Realitas itu tidak pernah berubah seiring kau bertambah dewasa. Hanya bentuk mainannya saja yang berubah. (thank you, Westhi, for the inspiration!)

Lalu ingatlah di sela kesibukanmu membuat perubahan di atas dunia, tiba-tiba kau merindukan hal-hal yang sederhana: perhatian dari orang-orang terkasih, rumah, dan seorang teman dalam kesendirian. Hal-hal yang sederhana, yang kau pelajari dari masa kanak-kanak yang mereka bilang naif. Begitu sederhana sehingga ia indah. Tapi juga begitu sederhana, hingga kita lupa bahwa kita memilikinya.

Kita sering terlarut dalam labirin yang kita buat, terlalu sibuk meninggalkan jejak yang semrawut dalam mengejar sebuah pencapaian, hingga kita terlupa bahwa kita memiliki ruang ini, yang begitu istimewa. Ia berdiri hening dalam kebisingan. Padahal di dalamnya sarat dengan memori bijak yang bisa mengajari kita, betapa berbahayanya dunia. Namun kita terlupa, karena terlalu larut dengan apa yang kita bisa, apa yang kita tahu, hingga kita berhenti bertanya.

Padahal ruangan itu memiliki esensi, dan kau kehilangan esensi dengan berhenti bertanya.

Tapi ia masih ada di sana, di dalam diri kita. Tak peduli kita sudah lupa jalan untuk kembali ke sana. Ia selalu ada. Tinggal bagaimana engkau menemukannya.


dirilis ulang dari http://oktavinaa.blogspot.com/, September 2008

Nasihat Dalam Diam

Adalah prasangka yang tak terhindar ketika kau mengatakan kami tak mengerti makna kekeluargaan. Mungkin kita hanya memakai kacamata yang berbeda. Akan kujabarkan apa yang kami lihat, supaya setidaknya, setelah membaca pesan ini, kau dapat mencoba melihat dari sudut pandang kami.

Bagi kami kekeluargaan adalah kepedulian yang tulus, kasih sayang yang tak terangkum kata-kata sederhana. Kepedulian, adalah tak tinggal diam ketika kau terjerumus dalam kejatuhan. Menegur jika kau melakukan kesalahan.

Kata-kata tajam mungkin tak terhindarkan, tetapi toh kau bukan lagi balita yang tengah belajar menjejak kaki. Beranjak dewasa, cobalah melihat tantangan di dalam kata-kata yang mungkin menyakitkan.

Jika kau kira keluarga yang harmonis adalah mereka yang senantiasa tersenyum manis di depanmu, mungkin kau melewatkan pisau tajam yang tersembunyi di balik punggung, berkilat di tengah keheningan.

Batas toleransi dan ketakpedulian amatlah tipis. Keluarga akan mengatakan di depanmu ketika kau mengambil langkah yang salah. Bukan meninggalkanmu berkubang dalam kesalahan dan penyesalan.

Maka kumohon jangan berkata kami tidak peduli. Kalau tidak peduli, dengan mudahnya kami dapat berbalik dan pergi memunggungi.

Bersikaplah lebih dewasa. Bahkan kata-kata paling tajam sekalipun dapat menyimpan kepedulian yang sangat tulus.

Filosofi Bahagia

mungkin bahagia adalah manifestasi dari keadaan. adalah reaksi diri terhadap aksi-aksi dari luar diri. terkadang reaksi memang bisa dikendalikan, tetapi seringkali kebahagiaan adalah reaksi yang merupakan kejujuran dari sang hati.

-- Oktavina Qurrota Ayun, berkata-kata di blog Okita Sisy Tiara --

Kunang-Kunang

Petang tadi saya melihat banyak kunang-kunang di tepi jalan. Kerlap kerlip cantik menyapa saya dari semak-semak yang kulewati di perjalanan pulang. Lucu ya, saya tak pernah memperhatikan bahwa kunang-kunang begitu mudah ditemui. Apakah mereka memang menunggu di situ hari ini saja, atau mereka selalu ada di sana tanpa kita sadari?

Tanpa diminta, mereka menemaniku pulang. Sesekali kerlap-kerlipnya memberiku penghiburan.

Bagaimana mereka tahu?

Tadi siang saya menangis... Ya, saya tengah merasa sangat rapuh, sangat lelah, sangat lemah. Yang paling buruk, saya merasa sendiri.

Tetapi seorang teman baik saya pernah menasihati, jika kamu pernah merasa sendiri, berdialoglah pada Tuhan. "Give Him a call, He always answers," katanya.

Maka saya mencoba menghubungi-Nya kembali dalam sujud. Saya tak meminta apa-apa, saya tak meminta dikuatkan, saya tak meminta semua masalah saya dihilangkan. Dalam hidup ini sudah banyak saya meminta pada-Nya. Kali ini saya hanya bersujud, pasrah. Toh, Ia akan tahu segala keluh kesah saya.

Setelah selesai beribadah pada-Nya, saya kembali melanjutkan aktivitas saya. Masalah yang terbentang masih sama. Tantangan yang sama seperti sebelumnya. Tetapi saya tak lagi merasa sendiri.

Lalu tibalah malam, dan kunang-kunang.

Seketika saya tersenyum. Selalu mengagumkan bagaimana Tuhan berbicara kepada kita. Tak selalu dalam kata-kata yang terlafal dalam percakapan, Ia selalu berbicara kepadamu melalui hati.

Tuhan selalu berbicara melalui hatimu, karena hatimu selalu jujur.

Kunang-kunang itu hadir sebagai penghiburan-Nya. Mereka menunggu saya di sisi jalan, memberi kekuatan. Hati saya pun tenang kembali.

Hal-hal tak terduga selalu datang ketika kau butuh kekuatan. Bahkan kunang-kunang kecil menjadi kekuatan bagi saya untuk melewati semua ini, paling tidak untuk satu malam ini.

Terima kasih.. Terima kasih.. Terima kasih..


Curiga

Hey, Pencuri Hati.

Jikalau mabuk cinta tak usah lapor. Jikalau mabuk miras, harap berkabar. Tanpa kabar membuatmu seperti bandit yang mencuri hatiku, lalu menenggelamkannya ke tengah lautan Artik. Diam, kedap, tanpa udara, tanpa suara. Tak tahu apa-apa.

Segeralah mengirim kabar, jangan biarkan hati bertanya-tanya lalu mencurigaimu lebih jauh lagi.

Bagaimana Saya Mewarnai Hidup Orang Lain?

Saya rasa eksistensi setiap manusia akan menjadi warna-warni yang menarik di kanvas orang-orang di sekelilingnya. Saya mewarnai hidup orang lain dengan menjadi hidup, ya, se-simple itu! Dengan membuat mereka tertawa, tersenyum, membagi cerita, membagi cinta kita, maka kita telah mewarnai hidup mereka: membuat mereka lebih hidup! Mungkin saya tidak selalu membuat mereka tersenyum, terkadang tangis dan amarah menjadi pewarna hidup kita, tetapi itulah yang membuatnya indah! Warna-warna terang dan cerah tidak akan dihargai lebih baik jika tidak ada warna-warna sendu. Nikmati tiap warnanya, jalani hidup sebaik-baiknya, berbagi cinta, dan kamu akan menambah warna indah dalam hidup seseorang. Termasuk dirimu sendiri! :)

Demikian adalah opini yang saya tuliskan untuk Why Only White Expression Contest. Pertanyaannya sesuai judul post ini. Kamu juga bisa ikutan disini. Hadiahnya cukup seru. Saya sendiri ikut karena tertarik dengan konsep produk mereka juga dengan konsep promonya. Dan apa salahnya berbagi opini?

Jadi, bagaimana cara kamu mewarnai hidup orang lain? Bagi saya, cukup dengan menjadi.

Si Pembaca Kepribadian dan Peta yang Terbalik

Malam ini sedang iseng sekali. Sedang browsing internet seperti biasa, saya lalu menemukan laman ini, promo terbaru sebuah merk pembalut terkemuka di Indonesia dan dunia. Lalu salah satu fitur di laman tersebut adalah WOW Personality, di mana kita bisa mengisi suatu tes dan ia akan 'membaca' kepribadian kita berdasarkan jawaban-jawaban tersebut.

Dan ini hasil yang saya dapat. Tadaa!


Ciee.. Katanya saya Confident Chic. Cewek yang Percaya Diri.

Katanya juga hanya 1% dari pengisi kuis ini yang memiliki kepribadian tipe ini.

Saya sih senang-senang saja. Deskripsi kepribadiannya seru, sih! Saya hanya berharap diri saya bisa benar-benar berkembang menjadi pribadi yang demikian. Untuk sekarang sih belum merasa seperti itu. Terutama di bagian fokus, selalu tampil rapi tanpa berusaha (masih jauuuuuuh!), cerdas, dan pandai berbicara.

Untuk deskripsi 'memiliki pandangan sendiri untuk setiap kejadian', saya rasa semua orang juga memiliki pandangan. Tapi saya akui, pandangan saya memang acapkali berbeda dengan orang kebanyakan. Makanya saya sering berpikir, cara pikir saya terbalik dari kebanyakan orang. Tidak ada yang salah, tidak mengatakan siapa yang benar, hanya berbeda.

Seperti peta ini. Siapa yang berani bilang pada seluruh dunia bahwa ia salah?


Yang menarik dari peta ini adalah, ia tidak hanya 'terbalik' dalam definisi yang lumrah, tetapi juga ia menempatkan China, Indonesia, dan Australia sebagai 'pusat dunia'.

Menarik bukan, bagaimana kita hanya sedikit mengubah cara pandang kita, dan tiba-tiba kita berada di pusat dunia?

Saya rasa banyak orang di negara ini perlu melakukannya. Mengubah sedikit cara pandang, percaya bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar, yang kemudian menjadi pusat dunia.

Saya sendiri percaya akan hal tersebut. Bagaimana dengan kamu?


Baca tautan ini untuk mengetahui lebih jauh tentang peta dunia terbalik.

Tentang Hidup, dan Mentimun

Pagi tadi entah mengapa saya sedang ingin makan ketoprak.

Maka saya dan pacar pun mendatangi satu warung tenda yang menjual ketoprak di daerah Sekeloa, Bandung. Hampir setiap pagi saya melewati warung tenda tersebut dan selalu berpikir, 'Kapan-kapan nyoba ah...' tapi belum juga berkesempatan mencicipinya hingga hari ini.

Kami lalu memesan dua porsi dengan pedas sedang, dan menyantapnya sambil berbincang-bincang.

Tak lupa saya menyisihkan potongan-potongan mentimun yang tidak saya suka ke pinggir piring.

Kami berbincang-bincang mengenai berbagai hal. Terkadang pembicaraan yang tanpa arah pun menghasilkan bahan perenungan kemudian. Sampai akhirnya kami membicarakan mengenai seseorang yang dia kenal.

Jadi orang ini pernah berhubungan dengan seorang wanita selama beberapa waktu. Tapi kemudian sang wanita ternyata dinikahkan dengan orang lain, karena si pria belum mapan. Belum siap berkeluarga. Belum bisa menghidupi mulut kedua dan ketiga.

Katanya sang wanita sedih, karena dia tidak sreg dengan calon suaminya. Tetapi apa boleh dikata, karena tekanan keluarga dan usia, akhirnya dia harus menikah bukan dengan orang yang disayanginya.

Saya tidak akan bicara atas nama sang lelaki, tetapi yang saya tebak hatinya pasti hancur. Lebih menyedihkan lagi bagi si wanita, karena harus menghabiskan sisa hidup dengan seseorang yang 'asing' bagi hatinya. Tetapi ada orang bijak yang mengatakan bahwa cinta itu akan tumbuh, jika dipupuk dan dirawat dengan hati. Yah, sebagai orang asing di kehidupan mereka, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi masing-masing pihak.

Lalu di akhir pembicaraan, ketika kami akan beranjak pulang, pacar saya menatap ke piring saya yang berisi potongan-potongan mentimun yang tidak saya makan. Dia lalu berkomentar, 'Ah, curang kamu dapet timun. Aku ngga dapet!'

Seketika saya menyimpulkan, sambil menghubung-hubungkan dengan cerita sebelumnya, bahwa mentimun di piring saya itu bagaikan metafora hidup: Terkadang kamu tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, sementara di saat yang bersamaan, dengan tidak adilnya, ada orang yang mendapatkan apa yang kamu inginkan, padahal dia tidak begitu menginginkannya seperti kamu.

Tapi begitulah hidup. Keadilan Tuhan tidak akan pernah masuk ke dalam logika kita. Makanya kita terkadang hanya menyalahkan keadaan tanpa berusaha mengetahui makna tersembunyi di balik segala sesuatu.

Bukan hal yang mudah. Karena jika pun kita berusaha, belum tentu kita memahaminya. Tapi saya rasa tugas kita dalam hidup ini tentu untuk menjalaninya. Bukan untuk menjadi Tuhan.

Mungkin Tuhan menaruh mentimun-mentimun itu di piring saya untuk satu alasan.

Realita Paradoksal

air mata sudah kering entah berapa tangis yang lalu.
saya sudah lelah... dan kelelahan mengikis emosi.

saya tak bisa...
berdiam dalam stagnasi
menua dalam kelembaman
menjadi titik pusat suatu transformasi:
di mana perubahan hanyalah ilusi.

saya terlena
dalam rutinitas dan kebiasaan
dan ketergantungan akan kamu
hingga takut untuk melangkah
karena takut jatuh dari ketinggian...

tolong, katakan
apa yang harus saya lakukan?
karena genggaman tangan terasa merapuh
tapi jika harus melihatmu menjauh,
saya rasa saya tak bisa.

ironisnya,
semakin keras saya menolak kepada stagnasi
perubahan-perubahan yang paling memungkinkan
semakin terasa menakutkan

Untukmu yang Akan Melangkah Pergi

Dinding ini akan kita kunjungi lagi pada beberapa waktu di masa depan.
Ia akan bangkitkan setiap senyum, setiap tangis, dan setiap tawa,
bangkitkan kerinduan.

Dinding ini berisi setiap kenangan tentangmu,
tentang aku,
dan setiap momen yang kita lewati.

Yang telah menjelma menjadi suatu mural indah tentang kehidupan,
tentang satu bagian kecil dari hidupmu,
hidupku..
Tentang empat warsa singkat yang telah berhasil membuatku
menyayangimu sebagai bagian dari diriku.

Sesuatu yang berat,
melepas genggaman yang begitu erat...
Namun kami harus melepasmu pergi, terbang tinggi

Meraih cita-citamu,
entah apapun itu...

Dan kami masih akan ada di sini,
memandangi dinding ini, berjalan di sisi-sisinya
yang setiap jengkalnya mengingatkanku
pada sudut tawamu, tangismu, dan segala kisah tentang dirimu.

Pada saatnya kami akan pergi,
dan dinding ini akan usang dimakan zaman.
Namun tak usah khawatir,
Semua kisah tentangmu, tentangku, tentang kita
Telah tertulis pada suatu masa
dan tersimpan dalam sudut memori kita.

Lalu kita ukir kenangan baru
pada setiap langkah kaki
Menjejak tanah tetap berpijak
meski prestasi terlukis di langit tertinggi.

Dan ketika lelah kita melangkah,
kita kunjungi lagi dinding ini, kau dan aku
dan kita akan tersenyum lagi,
tertawa lagi,
mengingat setiap jengkal kenangan.

Dan bersyukurlah selalu,
karena ini pernah terjadi...

***

Selamat jalan sahabat-sahabatku, terbanglah jauh tinggi seperti janjimu sore tadi. Pada saatnya, kita akan berjumpa lagi.

Dan terima kasih untuk setiap kenangan yang tak akan terlupakan.

Ingatlah selalu, karena aku menyayangi kamu.. :)

Sudah Waktunya

‎Daun pergi meninggalkan pohon, karena pohon tidak mempertahankannya atau karena angin yang bertiup kencang?



Jawabku: pohon tidak mempertahankannya karena sudah waktunya untuk daun pergi... :)


memorabilia.


Terkadang saya berharap waktu dapat diputar ulang
Bukan untuk mengubah sesuatu
Tapi untuk mempertajam detail dalam kenangan
Membuatnya jadi lebih indah...
Bukan, bukannya kamu tidak indah.
Hanya saja saya merasa
tak sempat mengenal kamu dengan sepantasnya.


Spasi.


Kapankah kau akan mengerti, bahwa hidup ini tidak pernah padat?

Ia cair, selalu bergerak. Dan sesungguhnya kau tak akan pernah menjumpai sungai yang sama dua kali. Selalu ada yang berubah dari sungai yang kau ingat itu.

Dan tak pernahkah kau sadari, bahwa memori merupakan jejak-jejak air yang mengikis bebatuan? Tak peduli seberapa keras kau berusaha menghapus jejak itu, lagi-lagi tanganmu-lah yang terluka. Pun sebenarnya bukan aku yang menginginkannya begitu, melainkan sang Waktu. Ia tak menjadikannya pasir yang bergegas membebaskan diri dari genggaman, untuk memberikan pemahaman; tanpa jejak-jejak memori, kau takkan ada di sini.

Maka sejenak, mari kita beri jarak untuk memahami. Mem-filtrasi spasi antara memori dan masa kini. Mungkin kemarin terlalu riuh kita berlari. Kini saatnya diam. Biarkan jarak yang berbicara, biarkan hati yang memahami.




Persona

Sore ini saya bermobil melewati markas suatu partai politik di Jalan Riau, Bandung. Di halaman markas partai tersebut terpampang baligo besar dengan foto pendiri partai (sekaligus calon presiden, mungkin) dari partai tersebut. Lalu saya berpikir, politik di negara kita ini masih sangat besar sekali bersifat sangat ikonik, mengasosiasikan bahwa figur tersebut = identitas partai. Akibatnya kebanyakan pemilih malah tidak memahami landasan politik partai tersebut, dan akhirnya hanya memilih calon yang diusungnya. Atau mereka yang berusaha memahami perbedaan satu platform partai dengan partai yang lain malah menyimpulkan bahwa antara partai-partai tersebut tidaklah jauh berbeda dalam ideologi politik (kecuali yang jelas berbeda, seperti partai yang berazaskan agama).

Kalau begitu, kenapa tidak jadi satu partai saja?

Jelas emoh. Karena mereka mengusung figur yang mewakilinya tersebut. Lalu otak saya yang sesungguhnya naif akan politik ini menafsirkan, berarti ada yang salah. Karena politik seharusnya mengusung ideologi, bukan nama, bukan persona. Karena untuk apa mengkultuskan satu nama? Kita seharusnya memilih berdasarkan ide yang dibawanya.

Bandingkan saja dengan partai politik di Amerika. Ah, Amerika. Lagi-lagi dia. Yah, karena pengetahuan saya terbatas dan sejauh ini saya lihat Amerika Serikat adalah negara di mana sistem politik benar-benar mendominasi setiap ruang-ruang kehidupan warga negaranya, jadi saya akan membahas tentang dia. Ya, di Amerika, Partai Demokrat tidak sama dengan Barack Obama. Ia adalah nama yang dibawa pada pemilu yang lalu. Obama membawa semangat pembaruan dan ide-ide yang jauh bertentangan dengan pendahulunya. Mungkin dengan popularitasnya yang menurun di dalam negeri, ia tak akan terpilih kembali di pemilu mendatang, siapa tahu? Tp toh ia membawa angin segar dengan Healthcare Reform-nya. Tapi suatu hari nanti ketika Obama tak terpilih lagi, Partai Demokrat akan membawa nama lain, dengan ide-ide lain yang sejalan. Figur berganti, landasan politik tetap bertahan.

Sekarang coba renungkan. Tidak akan sulit mengasosiasi partai-partai politik yang ada di Indonesia dengan satu-dua nama. Bahkan ada satu partai yang jelas-jelas mengusung nama yang sama di setiap masa pemilihan. :D

Intinya adalah, ketika suatu partai politik hanya mengandalkan satu figur untuk 'menjual' dirinya di mata masyarakat, maka kemungkinan besar partai tersebut tidak mengusung suatu fondasi politik yang kokoh. Lalu ketika popularitas figur tersebut sudah berlalu, dan dengan sistem kaderisasi partai yang bobrok, akhirnya nama-nama yang telah populer di tengah masyarakat lah yang diusung. Walaupun nama-nama itu mungkin berotak kosong. Dan bahkan bila nama tersebut pernah menjual kondom (sebagai bonus album musiknya yang mungkin kurang laku :p).

Yang perlu diperbaiki partai politik kita saat ini (yah, di antaranya) adalah sistem kaderisasinya dari level paling bawah. Sehingga legislator benar-benar tahu siapa yang ia wakili. Sehingga pemilih benar-benar bisa menyaring figur-figur yang benar-benar berkualitas untuk mendapat sebutan 'Anggota Dewan yang Terhormat'. Sehingga ketika satu figur berlalu, partai tersebut tidak mati. Dan rakyat pun tidak akan menjadi skeptis karena yang muncul muka lama lagi, muka lama lagi.

Walaupun mungkin masih lama lagi kita bisa melihat realita tersebut di panggung politik negeri ini.

Hmm. Kalau begitu perkataan Winston Churchill di bawah ini kurang tepat menggambarkan politisi di negara kita:

Some men change their party for the sake of their principles; others their principles for the sake of their party. ~Winston Churchill


Karena jika di Indonesia, akan menjadi: 'some men change their party for the sake of them being elected.'

tentang hidup.

soal hidup yang absurd. menurut saya hidup ini berjalan sebagaimana mestinya. ia punya cara-caranya sendiri untuk menjaga keseimbangan dunia. caranya? di antaranya seseorang harus kalah di kala manusia lain mencapai kemenangan. ada yang mati kelaparan di saat yang bersamaan dengan seorang anak yang mendapat kue tart besar yang bahkan tak habis dimakannya sendiri.

ada yg bilang hidup ini nggak adil, tp sebenarnya keadilan itu bukan kita yang punya. manusia menganggap hidup ini absurd, nggak adil, berat, kenapa? mungkin karena terkadang akal manusia tak cukup tinggi untuk memahami "hidup" secara keseluruhan (bukan hidup dari kacamatanya sendiri). mungkin karena ego manusia sering terlalu besar untuk menerima kenyataan bahwa "hidup" lebih sering berpihak pada kegagalan dirinya daripada kemenangan. padahal di dalam kegagalan itu dirinya belajar.

tapi dunia tetap bergulir sebagaimana mestinya. tau kan pepatah, bahwa kepakan seekor kupu-kupu di Cina bisa menyebabkan badai di belahan bumi lainnya. padahal kupu-kupu itu tidak tahu apa yg ia lakukan, ia hanya mengepakkan sayap sebagaimana instingnya memberitahunya. ia tak tahu apa akibatnya. mungkin begitulah seharusnya manusia menjalani hidup. just live life to the fullest, do the best we can each and everyday. soal dunia yg membuat kita jatuh bangun, justru saat kita mencoba bangkit dari kejatuhan itulah yg dinamakan the art of living.

"yeah, you bleed just to know you’re alive.."

–iris / googoodolls–

soundtrack of my life

Kosong

Mulanya adalah kosong. Lalu dari kekosongan ia bermula.

Pernahkah kamu mengukur, bertanya-tanya, atau menebak-nebak seberapa besar waktu dapat menghukummu? Seberapa buruk badai bisa mendera, mencederai, melumpuhkan hatimu?

Aku tak pernah mengukur. Tapi aku tau.

Hati yang telah rusak tak bisa memaafkan, tak mampu mencinta sebesar ia pernah lakukan. Terkadang tanpa ia menyadarinya...

Hati yang terobek terenggut kemampuannya untuk percaya, bahwa masih ada cahaya di penantian pagi di kelokan hari.

Siapa Engkau, yang berpikir dapat terbang bebas, berlalu lalang meninggalkannya yang pernah terhempas tanpa menghembus kata maaf? Dan bahkan jika kau mau, kau takkan mampu menghapus ukiran waktu.

Yang menghempas, mendera, mencederai. Menikam, mencabik, melukai. Yang sewaktu-waktu menghampiri, bukan dalam eksistensi kongkret, melainkan melalui memori. Yang menyusup jahat di malam hari. Mencederai, sekali lagi.

Meninggalkannya dalam kekosongan rasa.

Kosong adalah akhirnya. Lalu dari kekosongan ia, sekali lagi, bermula.

Pelangi untuk Peri Kecil

Seorang Peri Kecil yang pergi meninggalkan sarangnya terlalu cepat. Sayapnya belum lagi tumbuh sempurna, namun ia nekat terbang meninggalkan sarangnya yang nyaman. Tidak. Sarang itu tak lagi hangat. Dulu memang ia temukan kebahagiaan di sana. Namun telah beberapa lama, kehangatan itu tak lagi terasa. Dan ia sering menemukan dirinya terkapar lemah tanpa perlindungan, kulitnya terasa perih dan rapuh diseka udara yang terdiam.

Peri Kecil memutuskan untuk terbang, walaupun sayapnya belum berubah keemasan. Aku tak butuh sayap-sayap keemasan yang hanya memikat pekatnya malam, aku hanya ingin melihat dunia dan warna-warna pelangi yang mereka bilang indah mempesona, katanya. Dan maka terbanglah ia.

Peri-peri yang lebih tua berusaha menahannya, katanya dunia luar itu keras, dan ia takkan bisa menghadapinya sendirian. Terlebih lagi sayapnya belum tumbuh sempurna. Namun Peri Kecil tak peduli, katanya ia akan temukan jalannya sendiri.

Dalam dingin dan kegelapan, Peri Kecil melayang ke sana kemari. Mencoba mencari jalan di antara akar-akar pohon yang menjuntai mengancam, di antara lolongan binatang malam yang menakutkan. Tanpa cahaya ia berjalan, genggaman yang mengisi sela-sela jarinya hanyalah genggaman tangannya sendiri.

Lalu ia melihatnya ketika kegelapan malam berganti fajar, kemudian senja menyela di satu hari yang melelahkan. Ketika kaki-kakinya tak kuat lagi berjalan, dan sayap-sayapnya telah tersayat-sayat nyaris hancur menjadi abu; ia menemukannya: kaki pelangi yang selama ini menghiasi mimpinya. Lengkungan indah yang menggambarkan senyuman surga.

Seketika bahagia mengisi setiap jengkal tubuh kecilnya. Sakit, perih, dan dingin tak lagi terasa. Seolah tubuh mungilnya dapat menyerap energi dunia. Bibirnya membentuk lengkungan serupa raga pelangi, itulah senyuman sang Peri Kecil yang telah lama tak terlihat di wajahnya.

Peri Kecil tak ingat lagi telah berapa lama ia berada di sana. Yang ia ingat hanyalah, setiap harinya adalah momen-momen yang istimewa. Baginya, terbangun di pagi hari dan melihat pelanginya masih ada di sana menemaninya adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Bahkan di Kerajaan tempatnya berasal, kebahagiaan semacam itu tak pernah ada. Nun jauh di sana, Sarangnya semakin terasa hampa tertimbun debu, kesunyian, dan jaring laba-laba.

Ya, terkadang ia teringat akan masa lalunya di sana. Dan sebagian kecil dirinya mungkin masih merindukan. Tetapi ia ingat Sarang itu tak dibangun di atas pondasi yang kokoh, lama kelamaan ia akan roboh ketika tak tahan lagi menahan ego dan kerinduan. Sarang itu menjadi fenomena yang terlalu menyedihkan, hingga Peri Kecil memutuskan untuk pergi. Peri Kecil terkadang merindukan hari-hari indah yang pernah dilewatinya di sana. Tapi bila mengingat fenomena yang menyedihkan itu, wajahnya jadi tampak murung, dan Pelangi tak suka melihatnya muram.

Ketika malam tiba, Pelangi kirimkan Purnama untuk terangi hatinya. Biarkan ia terlelap dalam mimpi indah disinari cahaya. Dalam tidurnya ia memeluk Pelangi, ia dekap erat-erat dan tak dibiarkannya pergi.

Suatu hari Peri Kecil terbangun menyadari sayapnya tlah tumbuh dengan sempurna. Rupanya kebahagiaan merupakan obat terbaik untuk semua luka. Peri Kecil terbang dengan riang meniti indahnya dunia.

Satu hal yang membedakannya dengan peri-peri lain di dunia: sayapnya tak berubah keemasan; melainkan berwarna-warni serupa rona Pelangi.

Percakapan Terakhir dengan Si Rambut Panjang

Lama saya duduk berhadapan dengan si gadis berambut panjang. Tempat itu tak terlalu lengang. Orang-orang di sekitar kami lalu lalang, sementara yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Seakan-akan dunia sedang membiarkan kami berdua larut dalam detik-detik yang terentang lamban dalam keraguan akan perpisahan.

Ia menatap saya cemas. Ingin saya mengusap rambutnya, mengatakan padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi saya tahu, semua itu sia-sia. Kami pun tenggelam pada percakapan dalam diam.

“Akankah aku berjumpa lagi denganmu?” tatapannya seolah bertanya.

“Akan tiba waktunya,” ujar saya. Masih dalam tatapan yang, saya harap, akan menenangkan gundah di hatinya.

Ia melirik sekeliling kami. Tentu saja orang-orang itu tak menghiraukan kami. Mereka terlalu sibuk dengan percakapan-percakapan yang artifisial satu sama lain, seolah mereka saling peduli. Nyatanya, setelah hari ini, mungkin mereka tak akan bertemu lagi untuk beberapa lama. Tetap saja wajah-wajah itu berseri-seri, lalu saling memuji.

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, dan saya tahu pernyataan yang berkecamuk di hatinya kurang-lebih berkata, “Tidak, ini semua salah. Aku mengambil jalan yang salah!”

Saya sudah hampir meraih genggaman tangannya untuk menghapuskan semua keraguan di hatinya. Namun saya urungkan niat itu, karena pria yang ditunggu-tunggu telah datang juga. Pria itu mengusap-usap rambutnya seolah penuh kasih. Saya hanya mencibir. Saya tahu, bukan dirinya yang ia cintai.

Pria itu meraih segenggaman dari rambut panjangnya yang saya cintai itu, dan ia bertanya, “Mau dipotong kaya gimana, Jeng?”

Si Gadis menjawab lirih, “Pendek aja deh, Mas. Bob gitu, tapi depannya lebih panjang dari belakangnya…”

“Oke. Aduh, sayang banget, padahal rambutnya panjang gini.” Lalu tak berapa lama kemudian si Pria sudah sibuk bekerja dengan gunting rambutnya. Kurang dari satu jam kemudian, si Gadis keluar dari salon dengan potongan rambut baru yang membuatnya tampak lebih fresh.

Ketika ia melewati cermin di departemen store sebelah, ia mengedipkan matanya pada saya.

Kalau saja ia tahu, betapa saya bangga akan keberaniannya…



oblivisci


...ketika kau terbangun dengan sayup auranya dalam imaji,
belajarlah untuk menggali rasa sakit
yang pernah ia endapkan pada memori.
Dan kau takkan mengenangnya kembali,
pada benang-benang angan-angan.

untuk sekedar pengingatan.

***


*)oblivisci: to forget, melupakan. Bahasa Latin, red.


Daisypath Anniversary Years Ticker

Selamat Datang!

Ini adalah bagian kecil dari dunia saya, sepenggalan cerita. Setelah saya memutuskan bahwa Buon Giorno, Principessa! akan menjadi rumah bagi pikiran-pikiran yang tertuang dalam bahasa Inggris, saya merasa memerlukan ruang baru bagi celoteh-celoteh bahasa ibu yang kerap bising memenuhi benak ini. Maka, inilah dia. Cerita Principessa. Suatu ruang baru dalam kisah saya, yang suka dipanggil Principessa. Ruang pikiran, yang (semoga) lebih bersahaja karena bahasanya lebih kau kenal untuk kau resapi maknanya.

Maka selamat datang! Tak perlulah terburu-buru pulang..

Menyapa

Menyapa
Dalam ranah maya, sebut ia 'Principessa'. Di dunia nyata, ia hanya gadis kecil yg senang bercerita...

Yang disuka

Yang disuka
buku-buku

arsitektur

hot chocolate

sensasi kesendirian di kota asing

LOVE. don't we all? =)
Powered By Blogger

Para Pendatang