Neneng Jadi Pengibar Bendera


Di suatu Selasa siang yang terik, aku masuk ke kelas 5 karena sesuai jadwal aku harus mengajar matematika di kelas tersebut. Terkejut kulihat seorang muridku merah matanya. Wajahnya bersimbah air mata. Kutanya, "Mengapa Neneng menangis?"

Ya, Neneng panggilannya. Kata guru-guru ia memang lambat dalam belajar. Beberapa murid pun entah mengapa terkadang tampak enggan berteman dengannya. Namun di rapat kelas sehari sebelumnya Neneng bersemangat mengajukan diri untuk menjadi petugas upacara. Jadi pengibar bendera, lebih tepatnya.

Memang ini sudah memasuki minggu keduaku mengajar di SDN 019 Long Kali, Desa Maruat, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Hari Senin kemarin adalah kali pertama sekolah kami kembali menghidupkan upacara bendera setelah sekian lama vakum. Yang menjadi petugas upacara di hari Senin kemarin adalah siswa-siswi kelas 6, dan minggu berikutnya giliran murid kelas 5 yang menjadi petugas. Untuk membiasakan budaya musyawarah di sekolah, kubiasakan murid-murid sendiri yang menentukan siapa yang menjadi petugas upacara dalam musyawarah kelas. Ketika Neneng mengajukan diri, semua setuju. Kulihat matanya berbinar-binar penuh semangat. Namun mengapa hari ini ia tampak sedih?

"Kata teman-teman saya bodoh, Bu. Tidak bisa diajari. Tidak bisa jadi petugas," ujar Neneng, masih dengan berlinangan air mata.

Tentu aku semakin terkejut. Bukannya tidak biasa menemukan anak-anak mengata-ngatai temannya sendiri, namun kali ini kulihat sendiri di depan mataku seorang anak betul-betul 'patah hati' akibat dari perkataan temannya sendiri.
"Betulkah ada yang menyebut Neneng tidak bisa diajari?" tanyaku. Semua diam. Salah satu murid akhirnya menyahut, "Yang bilang anak kelas 6, Bu!"

Aku terdiam. Tak ada gunanya juga mencari-cari siapa yang mengatakan apa. Bisa makin panjang urusan.
"Teman-teman, ketika seseorang mengajukan diri untuk jadi petugas, tandanya apa?" tanyaku. Murid-muridku saling pandang, mungkin bingung mau menjawab apa. "Itu tandanya dia mau belajar. Betul tidak?" tukasku lagi.

"Betul, Bu!" sahut mereka.

"Nah, kalau teman kita mau belajar, apa boleh kita menghalangi?" ujarku.

"Tidak, Bu!"

"Kalau begitu kita berikan kesempatan kepada Neneng untuk belajar ya? Semua setuju ya?"

"Setuju, Bu!"

Ketika kukira kami bisa lanjut untuk mulai belajar, tiba-tiba Neneng menyambung, "Sudah, Bu. Saya mundur saja, ndak jadi petugas." Rupanya masih dongkol ia. "Sudah, sudah. Lupakan. Ibu yakin kamu bisa, jadi kamu juga harus yakin ya?" Sedih rasanya melihat perkataan teman menjatuhkan kepercayaan dirinya seperti itu. Namun akhirnya kuyakinkan Neneng untuk tetap menjadi petugas pengibar bendera Senin depan.

Petugas upacara berlatih setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu menjelang upacara. Maka Kamis pagi sebelum kelas masuk kupanggil Neneng beserta dua kawan pengibarnya, Jais dan Lutfi, untuk berlatih. Awalnya memang sulit melatih anak-anak yang tidak terbiasa dengan baris berbaris ini untuk bisa berbaris dalam gerakan yang teratur dan seragam. Kulihat Neneng bahkan beberapa kali nyaris putus asa karena ia merasa kesulitan menghapal aba-aba dan gerakan-gerakan yang harus dilakukan. "Bu, saya mundur saja Bu, saya tidak bisa," tukasnya. Namun aku bersikeras, "Ibu yakin kalian bertiga bisa. Ayo kita latihan satu kali lagi!"

Kalau boleh jujur, aku memang merasa sedikit khawatir dengan petugas upacara kali ini. Minggu lalu ketika melatih kelas 6, rasanya tidak sesulit ini. Tapi kuingat pesan Pak Munif Chatib di pelatihan intensif Pengajar Muda, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Sebagai pengajar, kita harus sabar dalam membuka 'peti harta karun' yang dimiliki setiap anak. Namun rupanya kesabaran murid ada batasnya juga. Sudah bosan mereka kuminta berkali-kali mengulangi gerakan jalan di tempat dan langkah tegak maju jalan. Akhirnya kuizinkan mereka untuk menghentikan latihan di hari Jumat, untuk dilanjutkan di hari berikutnya.

Di hari Sabtu, aku harus pulang lebih awal karena harus menuju Tanah Grogot untuk rapat koordinasi dengan tim Paser. Oleh karena itu kutugaskan petugas upacara minggu lalu, yaitu siswa-siswi kelas 6 untuk melatih adik-adiknya. Ini sengaja kulakukan, supaya timbul kesadaran dari diri siswa sendiri untuk saling membantu dalam latihan upacara. Supaya ke depannya mereka tidak harus bergantung pada guru maupun PM yang bertugas di sekolah tersebut untuk menjalankan upacara. Sepanjang perjalanan menuju Tanah Grogot dan kembali pulang, tak henti-hentinya aku berdoa, semoga Neneng dan kawan-kawan dapat melakukan tugasnya dengan baik.

Akhirnya hari Senin yang ditunggu-tunggu datang juga. Kupasangkan selempang bertuliskan 'Petugas Upacara' pada murid-murid yang bertugas. Kuajak semua petugas untuk menyatukan tangan dan berdoa bersama sebelum menjalankan tugasnya.

Tibalah giliran Neneng, Lutfi, dan Jais mengibarkan bendera. Diam-diam kusilangkan jari-jari tangan di belakang punggung, berdoa semoga tidak terjadi kesalahan. Namun ternyata dugaanku salah. Dengan lancar Neneng sebagai pembawa bendera memimpin aba-aba baris berbaris yang awalnya sulit ia hapalkan itu. Pun ketiga muridku itu dengan gagah mampu membawa Sang Merah Putih berdiri tegak di puncak tiang. Ketika mereka kembali ke barisan, aku bertepuk kecil di belakang. Kuacungkan dua jempol. Neneng tersenyum senang.

Ketika tiba giliran kelas 4 berlatih upacara di Jumat berikutnya, kulihat Neneng dengan bersemangat membantu adik kelasnya berlatih. Rasa malu dan tidak percaya diri  tak kulihat lagi di wajahnya. Aku bangga, Neneng berhasil jadi Pengibar Bendera. :)

Oktavina Q. Ayun
Pengajar Muda Paser

#SelamatkanAnakBangsa : Cintai Buku, Matikan Televisimu

Dengan konten televisi lokal kita yang memprihatinkan, serta sangat minimnya tayangan yang mendidik, apalah ruginya mengurangi waktu 2-3 jam sehari untuk mematikan televisi dan membaca buku? Membaca buku membuka imajinasi, menambah pengetahuan, memperkaya kepribadian, dan terlebih lagi: HEMAT ENERGI.

(sumber gambar)

Pikirkan kembali, berapa jam dihabiskan di dalam rumahmu untuk menonton televisi? Berapa unit televisi yang dikuasai masing-masing anggota keluarga? Berapa jam waktu terbuang yang sebetulnya dapat digunakan untuk bercengkrama dengan keluarga, bertatap muka, atau melakukan hal-hal yang betul-betul bermanfaat?

Di dalam era informasi sekarang ini, informasi mengalir deras dengan cepatnya, hingga terkadang sulit untuk memilah-milah informasi mana yang baik dan informasi mana yang buruk. Televisi berperan besar dalam mempengaruhi perilaku generasi muda dengan mudah ke arah yang negatif: mempengaruhi mental, sikap, pola pikir, gaya hidup konsumtif, dan lain-lain. Sebut saja sinetron-sinetron yang seringkali tidak menawarkan pesan moral yang baik --perilaku tidak sopan terhadap yang lebih tua, bersikap kasar pada teman sebaya-- (ditambah akting yang buruk dan alur cerita yang klise), atau reality show semakin terlihat tidak real, serta infotainment yang mengaburkan nilai-nilai prinsipil yang perlu kita pegang. Di atas semua itu, televisi menjadikan bangsa kita bangsa yang dramatis: segala hal dijadikan drama berlebihan: kekalahan di kontes dihadapi dengan tangisan, sidang wakil rakyat menjadi bahan tertawaan). Apa yang betul-betul dapat kita pelajari dari berjam-jam menonton televisi? Mana kontrol yang sepatutnya dilakukan oleh otoritas atas informasi yang dapat diserap pemirsa, terutama generasi muda?


Di kala lembaga pertelevisian kita menolak untuk memilah-milah hal tersebut untuk kita, tangan kita lah yang memegang kontrol: Matikan televisimu! Mulailah membaca buku.


Sangat banyak yang dapat kita peroleh dari sebuah buku. Banyak cerita rakyat Indonesia yang mengajarkan kepahlawanan dan sikap santun terhadap orang tua, hal-hal yang mengingatkan kita akan identitas diri sebagai bangsa timur. Hidupkan kisah perjuangan para pahlawan, supaya generasi muda lebih menghargai perjuangan meraih kemerdekaan, dan menumbuhkan rasa cinta tanah air. Pergi berpetualang ke Mesir atau Lembah Amazon, pelajari kebudayaan dan peradaban baru. Gunakan imajinasi dan rasakan petualangan yang mendebarkan!


Buku membuka ranah imajinasi, membiarkan kepribadian kita berkembang kepada segala kemungkinan, membuka forum-forum diskusi yang mendekatkan hubungan persaudaraan, membawa kita ke tempat-tempat baru tanpa harus jauh-jauh beperjalanan, dan membiarkan kita bermimpi setinggi-tingginya, membentuk cita sejak dini. Ajak adik, keponakan, anak-anak kita untuk belajar mencintai buku. Bacakan mereka buku, jauhkan mereka dari televisi, terutama dari program-program yang kurang mendidik. Pun ketika menonton tv, bantu mereka memilah mana program yang baik, dan matikan tv ketika sudah waktunya untuk tidur dan belajar. Bawa mereka bermain ke luar: hidupkan petualangan yang tadinya hanya dinikmati secara pasif dari tayangan televisi. Jangan biarkan generasi muda menjadi generasi yang terpaku pada kotak 32 inci, yang tak bisa mengembangkan khayalan dan kepribadiannya sendiri.


Matikan televisi, dan mulailah membaca buku. Biarkan otakmu berpikir untuk dirimu sendiri, jangan biarkan televisi berpikir untukmu. Sisihkan waktu untuk membaca, membacakan buku untuk adikmu, dan mendiskusikan isi buku dengan seluruh anggota keluarga. Selain menghemat energi, kegiatan ini juga bisa meningkatkan intensitas kegiatan yang bisa dilakukan bersama-sama.


Membaca buku juga merupakan kegiatan yang murah sebetulnya, sayangnya tak semua keluarga Indonesia memiliki akses untuk memperolehnya. Oleh karena itu, coba tengok sekelilingmu. Adakah masyarakat yang membutuhkan akses kepada bacaan-bacaan bermutu? Mengapa tidak menggalang buku-buku dari perpustakaan pribadimu atau kawan-kawanmu untuk dibuat taman bacaan atau perpustakaan di komunitas yang membutuhkan? Atau coba akses @Penyala, dan mungkin seorang anak dari pulau terluar Indonesia dapat menikmati petualangan favoritmu ketika kecil dulu. Aksi-aksi sederhana yang dimulai dari diri sendiri dapat menjadi pemicu untuk menjadikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Maka, mari bersama-sama #SelamatkanAnakBangsa. Jauhkan mereka dari pengaruh negatif yang bersumber dari media. Cintai buku, matikan televisimu.


Tentang Jalan dan Perjalanan


Saya percaya semua orang bisa memilih jalan hidupnya masing-masing.

Selepas kuliah, senang sekali melihat update di dunia maya dari teman-teman yang mendapat pekerjaan di perusahaan anu, melanglang buana ke negeri inu, dan melanjutkan studi ke universitas unu. Saya pun bersyukur mendapat kesempatan untuk banyak belajar dalam dunia yang ingin saya geluti, berkenalan dengan banyak orang hebat, dan belajar banyak dari orang-orang tersebut dalam kurun waktu beberapa bulan setelah lepas dari bangku kuliah. Mungkin tak banyak orang yang bisa seberuntung saya. Tidak dalam hal materi, namun dalam hal kekayaan pengalaman dan pembelajaran. Dan ini tak selalu bisa dimengerti banyak orang.

Banyak yang bertanya-tanya, mengapa selepas kuliah saya tidak berminat mencari pekerjaan di bidang ini, di bank anu, di biro inu; banyak pula teman-teman orang tua saya yang menawarkan untuk mengenalkan saya dengan kenalannya yang punya perusahaan anu; dan yang lainnya sibuk menceritakan anak temannya yang mendapat beasiswa ini, inu, dan anu. Semuanya saya sambut dengan senyum mafhum. Saya menghargai tawaran-tawaran mereka, tetapi saya di sini tidak bermaksud mengikuti jejak siapa-siapa. Saya memiliki rencana dan telah menetapkan tujuan-tujuan. Jika saya tidak memutuskan untuk kuliah di benua anu atau bekerja di korporasi inu, berarti itu tidak termasuk rencana saya. Setidaknya belum. Untuk saat ini. Sederhana, bukan?

Rencana hidup saya mencakup sebuah proses pembelajaran yang amat panjang, dengan pilihan-pilihan yang harus diambil di sana-sini. Adalah cita-cita saya untuk menjalani hidup yang penuh arti, dan jika memungkinkan, membagi sebagian yang saya miliki untuk orang lain. Menurut saya, seseorang patut dihargai bukan atas seberapa banyak yang ia hasilkan untuk dirinya sendiri, namun seberapa banyak ia bermanfaat bagi orang lain. Jadi di sinilah saya, berusaha untuk mengisi hidup dengan lembar-lembar yang (saya harap) bermakna. Sudah cukup saya bergerak terlalu cepat, berusaha menjadi yang ada di garis terdepan. Kini saya hanya ingin berusaha menjadi, secara sepenuhnya dan seutuhnya. Melebur dengan waktu dan momentum yang menjadikannya bermakna.

Tentu terkadang merasa iri, melihat beberapa teman yang tengah berkesempatan melihat dunia. Berfoto di depan gedung A di negara X, di tempat-tempat yang terdaftar dalam bucket list saya untuk dikunjungi suatu hari nanti. Tetapi tidak mengapa. Saya yakin teman-teman tersebut berjuang keras untuk berada di posisi mereka. Tak perlu iri hati, semua orang punya perjuangannya sendiri. Tak usah juga memaksakan diri. Toh saya yakin dengan rencana-rencana saya. Dalam hidup, sudah beberapa kali saya diberi kesempatan untuk melihat dunia. Untuk lagi-lagi meminta kesempatan untuk berkelana rasanya sedikit tamak, padahal saya merasa belum memberi apa-apa dari perjalanan saya.

Maka sejak sebelum lulus kuliah, saya memutuskan bahwa untuk sementara ini saya tidak akan mengejar apa-apa, atau setidaknya, apa yang dipandang orang prestige semata. Saya pikir, saya hidup di dunia ini tidak untuk membuktikan diri kepada siapapun. Saya memilih menekan ego saya, memilih mengambil jalan yang sederhana untuk belajar sebanyak-banyaknya. Menetapkan langkah-langkah yang akan diambil, satu demi satu. Kita toh bisa berlari saat ini karena langkah kecil yang kita ambil selagi masih balita. Itu yang saya percaya.

Saya yakin jika kita berusaha, suatu hari nanti akan bisa mencapai puncak-puncak dunia. Beberapa dari kita mungkin melangkahkan kaki dengan gemilang, lebih tinggi dari yang lainnya. Untuk mereka yang harus memulai dengan merangkak dari bawah, tidak apa-apa. Asal terus yakin dan berusaha. Kurasa selama kita tahu arah mana yang kita tuju, kita akan tahu ke mana harus melihat. Yang sulit adalah jika kita hanya mendamba, tanpa tahu arah hidup kita sebenarnya. Saran saya, definisikan dengan jelas, fokuskan pikiranmu terkonsentrasi pada tujuan itu, dan semesta akan membantu kita menemukan jalan kepadanya.


Kontra

Selama ini saya selalu bertanya-tanya, mengapa jalan pikiran saya hampir selalu berkebalikan dengan jalan pikir kebanyakan orang. Maksud saya benar-benar berkebalikan. Bertolak belakang. 180 derajat. Apa ada yang salah di kepala saya? Apa ada bagian dari otak saya yang tertinggal dalam proses evolusi? Saya punya semangat yang tinggi, tetapi terkadang sedikit penolakan bisa melukai terlalu dalam, sehingga semangat itu bisa meluruh, dan saya jatuh pada keraguan. Pada kenyataannya saya takut. Takut menghadapi banyak hal. Takut salah mengambil keputusan. Kepercayaan diri tampaknya hanyalah benteng yang saya bangun untuk mencegah agar orang lain tahu ketakutan-ketakutan terbesar saya. Mencegah orang lain masuk terlalu dalam dan mengenal saya yang sebenarnya. Tetapi terkadang saya terbuai dalam alter identitas ini, dan mempercayai bahwa saya sebetulnya memang berani. Lalu ada suara kecil yang menjatuhkan, dan saya terduduk dan kembali teringat, bahwa saya seorang pengecut kecil yang berdiri di belakang benteng keangkuhan yang diperoleh dari sedikit pemahaman tentang dunia. Mungkin saya terlalu berambisi untuk menjadi makhluk sosial. Mungkin saya selama ini terlalu berpretensi, ingin menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna. Bentuk kemunafikan, saya yang memandang rendah orang-orang yang terlalu ingin menjadi bagian dari sesuatu, padahal saya pun tak ubahnya demikian. Saya sedang jatuh pada titik yang sangat rendah. Saya tengah mempertanyakan integritas saya sendiri. Sepertinya saya memang ditakdirkan menjadi makhluk anti-sosial, dan mungkin seharusnya begitu. Mungkin sekarang saya harus berhenti mencoba terlalu kuat, karena sebetulnya saya tidak semampu yang saya kira. Mungkin saatnya saya harus berhenti menjadi sesuatu, dan menjalani hidup yang biasa-biasa saja seperti orang lain.

Ya, mungkin seharusnya begitu.

Rembulan Merah

Rembulan merah mengintip dari balik kelambu, dan sebatang rokok kunyalakan malam ini. Kuhisap dalam-dalam getirnya, toh ini akan menjadi yang terakhir. Sayup-sayup kudengar lantunan tembang dangdut picisan dari warung rokok Bang Madun di gang seberang. Ditingkahi teriakan bapak-bapak bau keringat yang bermain gaplek setiap malam. Malas pulang, kalau tak membawa sepeser uang. Perut istri, perut lima anak minta diisi. Belum lagi si Rohmah menagih uang sekolah, uang seragam, uang buku, dan entah uang-uang apa lagi, curhat Bang Samad satu waktu. Aku hanya tersenyum maklum, dan menggamit sekantung indomi untuk santapan malam itu.

Rembulan merah masih membisu. Entah apa keluh kesah para suami malam ini.

Kuambil rokok sebatang lagi. Kurasa ini bisa jadi benar-benar yang terakhir. Dari kamar sebelah terdengar isak tangis tersedu-sedu. Tanti. Kulihat kemarin ia membeli test pack dari apotek di sebelah salon Mpok Minah. Mungkin Rembulan Merah tahu apa yang tidak aku tahu. Satu hal yang aku mengerti, pacarnya sedang merantau ke negeri jiran. Menimba ringgit untuk bekal pernikahan. Kurasa janur kuning bakal terpasang lebih cepat dari yang direncanakan. Tetapi undangan yang dipesan harus berganti nama pasangan.

Aku tertawa kecil. Dunia ini getir, sayang. Dan tak ada yang bisa dilakukan sang Rembulan Merah kecuali menggantung di langit mendung, mengintip ke dalam jendela gadis-gadis muda dengan pakaian dalam berenda. Sayang, sungguh sayang.

Ini membuatku teringat akan dirimu, satu-satunya ‘sayang’ dalam hidupku. Kuputuskan, malam ini akan kutulis sepucuk surat padamu, kekasih hatiku.

Mereka bilang surat is so last year, tapi aku tidak peduli. Tidak sms, tidak email, tidak kata-kata manis di dinding Facebook bisa mewujudkan emosi yang tertumpah dalam sepucuk surat yang bisa kau baca ulang, kau lipat kecil dan kau masukkan dompetmu, untuk kau baca lagi ketika rindu. Ya, sudah lama sekali aku tak menulis surat padamu, mungkin kau sudah lupa bagaimana melafal merdu namaku.

Tapi pertama-tama, kumatikan dulu batang rokok yang terakhir, lalu kutarik batang ketiga. Kusulut bara api di ujungnya, ia menyala merah seperti rembulan yang tersenyum jahil di luar jendela.

Aku tahu kau membenci batang-batang rokok yang membuat ciumanku terasa seperti dasar asbak di bibirmu, tetapi apa yang bisa kau lakukan malam ini, pacarku? Kau berada jauh tak ubahnya sang rembulan merah. Pun ia bisa mengintip ke sela-sela jendelaku, mengintai seraya aku berganti baju, melihat bulir-bulir keringat berjatuhan dari leherku ketika aku menghirup batang-batang rokok di dalam kamar kos gerah dan bau apak. Tak bisa kau usap air mataku, andai malam ini aku duduk tersedu sedan meratapi rembulan. Karena kau sibuk di peraduan, menciumi istrimu yang mungkin telah menyiapkan sedikit kejutan.

Maka rokok ini saja penggantimu. Ia rahasia kecilku. Hanya dia, aku, dan rembulan merah yang tahu.

Maka kutulis sebaris kalimat yang sedari tadi membuncah di dalam dada, di atas selembar kertas yang kutujukan kepadamu:

‘Selamat hari ulang tahun pernikahan sayang, untuk kamu dan istrimu.’

Dan kuselipkan ke dalam amplop, pakaian dalam berwarna merah yang kucuri dari tiang jemuran tadi siang. Mungkin milik Tanti, kurasa ia takkan keberatan. Ada hal yang lebih penting untuk ia risaukan. Kutulis alamat rumahmu di amplop, tanpa nama pengirim. Akan kuminta loper koran langgananmu menyelipkannya di kotak surat besok pagi. Aku tahu, siapa yang mengambil koran untukmu setiap pagi layaknya seorang istri berbakti.

Di kejauhan, dangdut pantura membahana, meredam geram kemarahan suami-suami yang pulang dengan kantong agak tipisan. Di balik dinding tripleks yang kusandari, isak tangis Tanti semakin menjadi. Katanya tengah malam nanti ada gerhana, makanya rembulan berwarna kemerahan. Tapi siapa yang peduli? Mungkin kau akan dicerai istrimu esok hari. Kupilih untuk tidur nyenyak malam ini.


Tangerang Selatan/16 Juni 2011

Memorabilia Masa Muda

UTS kuliah Sejarah Desain, Semester 7, tahun 2009. Rasanya terlalu sayang untuk dibuang. Mungkin bisa membuka diskusi, karena setelah saya baca sekarang, tampaknya ada beberapa hal yang masih dapat didiskusikan. Selamat menikmati. :)

Pertanyaan:
Apa saja substansi yang terkandung di dalam International Style dan strategi apa yang harus kita jalankan bagi kemajuan dunia Desain Indonesia?

Perkembangan International Style dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural yang terjadi di tengah masyarakat barat semenjak revolusi industri pada abad 19. Revolusi Industri tidak hanya menandakan awal era imperialisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga mempengaruhi selera masyarakat dengan semangat ‘kebaruan’ dan modernitas. Revolusi Industri membuka cara pandang dunia ke arah pemikiran yang lebih rasional. Karya-karya arsitektur yang berkembang pada masa tersebut pun cenderung sederhana dari segi bentuk, jujur terhadap material, serta fungsional sebagai akibat dari konsekuensi logis dari pendekatan desain yang dilakukan.

Substansi dari International Style adalah fungsionalitas, rasionalisasi dan simplifikasi bentuk, serta generalisasi langgam arsitektur secara global. Prinsip form follows function yang diangkat oleh arsitek Louis Sullivan pada tahun 1948 menekankan fungsi interior bangunan dan strukturnya untuk direfleksikan pada ekspresi interiornya. Hal ini menuntut arsitek untuk mendesain suatu bangunan se-simple dan seefisien mungkin, karena fungsionalitas adalah elemen terpenting dari bangunan. Simplifikasi bentuk merupakan implikasi dari prinsip kejujuran terhadap material serta peniadaan ornamen yang tidak fungsional terhadap bangunan. Hal ini sebagai akibat dari perubahan sistem produksi dari manual menjadi mekanis, yang memungkinkan produksi massal terhadap material bangunan seperti beton, baja, serta kaca sebagai material utama bangunan di era International Style.

Penekanan pada kata ‘internasional’ didasari pemikiran bahwa karya arsitektur tidak perlu merujuk kepada sejarah lokal maupun nilai-nilai vernakuler yang dianut di suatu tempat. Bangunan berkonsep pilotis seperti Villa Savoye rancangan Le Corbusier secara logis dapat dibangun di lokasi mana pun di dunia. Tetapi prinsip ini kemudian mendapat tentangan dari pengamat arsitektur yang beranggapan bahwa generalisasi yang diusung International Style terlalu monoton dan tidak memiliki identitas budaya, sehingga tidak dapat dibedakan antara karya arsitektur di suatu negara dengan negara lainnya.

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa International Style berkembang karena adanya revolusi intelektual di kalangan masyarakat. Kritik yang menyebut International Style ‘tidak manusiawi’ karena tidak adanya identitas budaya yang direfleksikannya dapat menjadi titik strategis bagi desain Indonesia untuk mengembangkan jati dirinya. Kebudayaan merupakan suatu identitas unik yang dapat membedakan satu bangsa dengan bangsa lainnya. Arsitektur vernakuler, misalnya, sebagai warisan budaya masa lalu memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dapat memperkuat jati diri Indonesia sebagai suatu bangsa.

Nilai lain yang bisa kita pelajari dari berkembangnya International Style adalah pengaruh teknologi dalam merevolusi gaya hidup dan pola pikir masyarakat. Dalam memajukan dunia desain Indonesia, penguasaan teknologi juga merupakan kemampuan yang signifikan. Strategi yang bisa dilakukan adalah dengan mengangkat kembali kearifan lokal tersebut serta nasionalisme dengan menggunakan media populer seperti internet, televisi, dan lain-lain. Selain itu, desainer atau arsitek muda Indonesia harus menggunakan kapasitas intelektualnya untuk mengambil esensi dari kearifan lokal tersebut dan mentransformasinya sesuai dengan tuntutan modernitas zaman, tanpa harus kehilangan jati diri.

Target Tahun Ini

Mungkin terlambat untuk resolusi tahun baru, tapi saya percaya aktualisasi diri tidak mengenal kata terlambat, ya toh? Anggaplah ini sebagai reminder pribadi. Saya letakkan di ranah publik, supaya, kalau kamu berkenan, ada yang bisa mengingatkan.

Oke, jadi resolusi atau target saya tahun ini adalah:
1. Membuka tabungan rencana pendidikan & asuransi
2. Mulai belajar bahasa Perancis
3. Beli iPod dengan uang sendiri :)
4. Menulis novel

Doakan saya ya, teman...

Penantian


Seperti awan yang mengharap panas matahari kan keringkan samudera hingga ke relung-relungnya,
aku menanti...

Menanti datangnya waktu hingga ku dapat tenggelam dalam pelukanmu.
Mengecup matamu dengan lembut setiap melepasmu ke gerbang mimpi,
ditemani selimut malam
lalu kita berjumpa lagi di bunga tidur sampai pagi menjelang.

Menunggu kau membawaku lari dari rutinitas dan kebiasaan,
memainkan melodi-melodi indah yang membuat bintang-bintang berdentingan,
menyeruak dalam harmoni
lalu kita berdansa di bawah sinar bulan.

Merindukan kau dan aku bersapa dalam satu bingkai jendela setelah satu hari yang panjang,
berbincang tentang apa-apa yang kita lalui sebelum malam datang.
Lalu matikan lampu,
dan kukecup matamu dengan lembut sebelum kita sama-sama menjemput mimpi tuk berdansa lagi.

Menanti hari-hari
kala kita bisa berbaring berdampingan, mengistirahatkan mata dengan bahagia.
Karna tahu kau kan ada di sampingku, ketika mata membuka...

Ketika Masih Jadi Kroco...


harus sabar dimarah-marahi, padahal kita bicara baik-baik.
dianggap bodoh, padahal sedang berusaha belajar biar pintar.
dikira tuli, padahal jaringan telepon sedang gangguan.
terima saja.
semoga ketika nanti suatu hari jadi atasan,
kita tidak memperlakukan orang lain seenaknya.
karena kita tahu tidak enaknya menjadi seorang kroco.


(ratapan hati setelah dimarahi orang yang notabene bukan atasan sendiri)

Sebenarnya Ini Nggak Penting Sih...

Jadi saya suka sebal sendiri kalau dibilang sok barat, sok bule, padahal saya ngga maksud pamer. Benar-benar ingin cerita, itu saja. Saya ngga suka pandangan mereka yang skeptis atau meledek, walaupun hanya bercanda. Misalnya suatu kali saya cerita tentang kemampuan masak saya yang rendah, sebatas sandwich, egg-salad, rosti, yang pasti kalah dibanding mereka yang bisa masak rendang, sambal goreng, atau tumis kangkung di usia saya. Atau di kesempatan lain saya bercerita tentang sistem transportasi di Amerika, semata-mata untuk perbandingan, dan toh hanya itu yang saya tahu karena itu satu-satunya benua yang pernah saya kunjungi selain Asia. Lalu saya dianggap pamer, dianggap sok barat lah, sok bule lah. Waktu itu sih saya ngga bawa cermin, tapi pasti wajah saya merah padam. Kesal. Tapi saya ngga ingin cari masalah, apalagi cari musuh. Ya biasanya saya diam saja. Tersenyum, seolah-olah memang sengaja pamer sambil balas bercanda. 

Tapi dalam hati tetap kesal.

Saya akui, beberapa pemikiran Barat dan pengalaman saya yang sedikit, tapi berarti itu sangat banyak mempengaruhi pola pikir saya. Apakah itu salah? Toh sejauh ini yang saya ambil atau saya contoh adalah hal-hal yang saya anggap baik. Dan kalau saya ingin bercerita, semata-mata karena itu berdasarkan pengalaman pribadi saya tanpa maksud pamer, apakah salah punya pengalaman?

Lucunya hal ini baru saya temui (lagi) baru-baru ini. Selama ini membicarakan hal yang sama dengan teman-teman kuliah atau teman SMA, saya tidak pernah merasa seperti ini ataupun menemukan tanggapan yang demikian. Mungkin memang benar, gegar budaya itu tak ada kata akhir selama kita senantiasa menemukan lingkungan baru dalam hidup. Mungkin saya tidak terbiasa bertemu orang yang demikian, pun mereka belum pernah bertemu orang yang se-tukang pamer saya (dalam anggapan mereka) sebelumnya.

Mungkin dari hal ini saya harus belajar untuk berhati-hati membuka mulut dan menjaga sikap. Saya perlu belajar untuk lebih rendah hati, langit itu berlapis-lapis: selalu ada yang lebih tinggi (begitu pula sebaliknya, selalu ada yang lebih rendah). Mungkin ini latihan saya untuk lebih rendah hati: bertemu dengan orang-orang yang menganggap pengalaman saya sebagai kekayaan yang senang saya pamer-pamerkan. Mungkin memang saya terlalu sering pamer, walau tak bermaksud begitu.

Yang jelas, saya hanya tak suka dihakimi. Atau mungkin saya terlalu sensitive. Mungkin saya sedang masa PMS. Ah, PMS. Enaknya jadi wanita, semua bisa kita salahkan pada PMS.


Pindah


Di hari kedua saya di Taman Kanak-kanak, saya menolak diantar dan ditunggui oleh ibu saya. Saya memilih naik mobil jemputan bersama teman-teman lainnya. Waktu itu usia saya belum genap lima tahun. Mungkin itu awal dari kemandirian saya. Saya merasa sudah besar.


Ibu menasihati saya di mobil yang membawa kami menuju tempat tinggal saya yang baru. Saya tidak boleh malas-malasan, katanya. Kalau di rumah mau apa tinggal bilang, habis makan tak perlu mencuci piring. Baju setiap sore saya terima, sudah wangi dan licin tersetrika. Sekarang tidak bisa begitu lagi. Semua harus diusahakan sendiri.


Saya hanya diam. Diam saya mengiyakan.


Waktu di Amerika, keluarga angkat saya tidak punya pembantu. Setiap anggota keluarga saling membantu, setiap orang punya kewajiban masing-masing. Tugas saya mengepel lantai dapur dua kali seminggu. Adik angkat saya yang laki-laki bertugas mengosongkan tempat sampah. Adik yang perempuan bertugas menyedot debu di karpet menggunakan vacuum cleaner. Kalau ingin uang jajan tambahan, kami biasa menawarkan diri untuk membantu mencuci mobil atau menjaga anak tetangga.


Tidak semua anak Indonesia terbiasa bekerja keras. Biasanya kita memiliki minimal satu orang asisten rumah tangga yang tugasnya membantu orang tua kita, terutama ibu, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Tidak terkecuali saya. Namun ketika di Amerika, saya harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Bangun pagi merapikan kamar tidur, lalu menyiapkan sarapan untuk sendiri, lalu setiap selesai makan mencuci piring sekenanya untuk kemudian diteruskan ke mesin cuci piring yang akan membersihkannya sampai bersih. Tidak sulit, karena waktu itu saya merasa harus tahu diri, namanya juga tinggal menumpang di rumah orang.


Sekembali dari Amerika, saya masih menyisakan sedikit kebiasaan tersebut. Tapi mau tidak mau harus diakui, kemalasan selalu datang menghampiri. Saya sudah jarang merapikan kamar lagi. Bergulung-gulung kertas menumpuk di salah satu pojok kamar, meja belajar nyaris tidak terlihat lagi permukaannya karena sudah tertutup buku-buku yang menumpuk. Mencuci piring nyaris tidak pernah. Menyapu dan mengepel kamar sendiri merupakan bagian dari keajaiban. Memasak sendiri masih sering, tapi setelah itu selalu meninggalkan tumpukan panci kotor untuk dicuci asisten rumah tangga.


Memikirkan ini, saya mengerti kekhawatiran Ibu.


Di tempat tinggal baru, Ibu khawatir saya akan membiarkan debu menumpuk setebal lima senti di lantai. Semut mengerumuni piring kotor sisa siomay di pojok kamar. Handuk terdampar di kasur setelah digunakan, menguarkan bau masam karena lembap dan jarang dijemur. Saya bisa membayangkan ini, mengingat kebiasaan di rumah yang biasanya hanya bermalas-malasan depan tv dan komputer.


Tapi saya sudah merencanakan kepindahan ini sejak lama. Walaupun tidak pernah sejelas kristal, gambaran tentang pindah dari rumah dan tinggal mandiri jauh dari orang tua sudah sering disiarkan ulang di benak saya sejak lulus SMA. Waktu itu tak yakin kapan dan bagaimana, tapi yang saya tahu, begitu ada kesempatan untuk hidup sendiri, saya akan mengambil kesempatan tersebut.


Bukannya tidak senang tinggal dengan orang tua. Oh, kalau makanan lezat selalu terjamin dan dompet terisi dengan ataupun tanpa meminta, siapa yang tidak senang? Tapi itulah, saya merasa kalau terus-terusan tinggal dengan mereka, saya tidak akan berkembang melebihi yang saya mampu, berbeda dengan jika tinggal sendiri.


Setiap dari kita butuh yang namanya aktualisasi diri. Itulah mengapa manusia butuh pencapaian, sekecil apapun. Maka bagi saya, pindah dari rumah orang tua adalah awal dari proses aktualisasi diri. Saya ingin belajar merasakan lapar dan tidak ada masakan tersaji di meja makan. Belajar bersusah payah mengejar angkutan umum, berdesak-desakan dengan wajah-wajah yang tidak familiar lainnya. Saya ingin belajar mengorganisasi diri, menentukan timeline dan mendisiplinkan diri. Mungkin mudah bagi orang lain, tapi bagi saya sangat sulit jika saya tidak keluar dari rumah orang tua saya yang sangat nyaman itu.


Selama saya masih tinggal dengan orang tua, saya akan tetap menjadi anak-anak karena diperlakukan seperti anak-anak. Jika terus begitu, bagaimana saya bisa berkembang?


Keadaannya tentu berbeda untuk setiap orang. Yang jelas saya tahu, saya membutuhkan kepindahan ini. Sama seperti saya meminta untuk tidak ditunggui ibu di hari kedua di taman kanak-kanak, saya butuh ini untuk mengatakan: 'Saya sudah besar.'


Mobil yang membawa keluarga saya kembali ke Bandung terlihat semakin mengecil. Meninggalkan saya untuk mengurus diri sendiri mulai saat ini. Saya sudah besar.

Daisypath Anniversary Years Ticker

Selamat Datang!

Ini adalah bagian kecil dari dunia saya, sepenggalan cerita. Setelah saya memutuskan bahwa Buon Giorno, Principessa! akan menjadi rumah bagi pikiran-pikiran yang tertuang dalam bahasa Inggris, saya merasa memerlukan ruang baru bagi celoteh-celoteh bahasa ibu yang kerap bising memenuhi benak ini. Maka, inilah dia. Cerita Principessa. Suatu ruang baru dalam kisah saya, yang suka dipanggil Principessa. Ruang pikiran, yang (semoga) lebih bersahaja karena bahasanya lebih kau kenal untuk kau resapi maknanya.

Maka selamat datang! Tak perlulah terburu-buru pulang..

Menyapa

Menyapa
Dalam ranah maya, sebut ia 'Principessa'. Di dunia nyata, ia hanya gadis kecil yg senang bercerita...

Yang disuka

Yang disuka
buku-buku

arsitektur

hot chocolate

sensasi kesendirian di kota asing

LOVE. don't we all? =)
Powered By Blogger

Para Pendatang