Pindah


Di hari kedua saya di Taman Kanak-kanak, saya menolak diantar dan ditunggui oleh ibu saya. Saya memilih naik mobil jemputan bersama teman-teman lainnya. Waktu itu usia saya belum genap lima tahun. Mungkin itu awal dari kemandirian saya. Saya merasa sudah besar.


Ibu menasihati saya di mobil yang membawa kami menuju tempat tinggal saya yang baru. Saya tidak boleh malas-malasan, katanya. Kalau di rumah mau apa tinggal bilang, habis makan tak perlu mencuci piring. Baju setiap sore saya terima, sudah wangi dan licin tersetrika. Sekarang tidak bisa begitu lagi. Semua harus diusahakan sendiri.


Saya hanya diam. Diam saya mengiyakan.


Waktu di Amerika, keluarga angkat saya tidak punya pembantu. Setiap anggota keluarga saling membantu, setiap orang punya kewajiban masing-masing. Tugas saya mengepel lantai dapur dua kali seminggu. Adik angkat saya yang laki-laki bertugas mengosongkan tempat sampah. Adik yang perempuan bertugas menyedot debu di karpet menggunakan vacuum cleaner. Kalau ingin uang jajan tambahan, kami biasa menawarkan diri untuk membantu mencuci mobil atau menjaga anak tetangga.


Tidak semua anak Indonesia terbiasa bekerja keras. Biasanya kita memiliki minimal satu orang asisten rumah tangga yang tugasnya membantu orang tua kita, terutama ibu, mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Tidak terkecuali saya. Namun ketika di Amerika, saya harus beradaptasi dengan kebiasaan baru ini. Bangun pagi merapikan kamar tidur, lalu menyiapkan sarapan untuk sendiri, lalu setiap selesai makan mencuci piring sekenanya untuk kemudian diteruskan ke mesin cuci piring yang akan membersihkannya sampai bersih. Tidak sulit, karena waktu itu saya merasa harus tahu diri, namanya juga tinggal menumpang di rumah orang.


Sekembali dari Amerika, saya masih menyisakan sedikit kebiasaan tersebut. Tapi mau tidak mau harus diakui, kemalasan selalu datang menghampiri. Saya sudah jarang merapikan kamar lagi. Bergulung-gulung kertas menumpuk di salah satu pojok kamar, meja belajar nyaris tidak terlihat lagi permukaannya karena sudah tertutup buku-buku yang menumpuk. Mencuci piring nyaris tidak pernah. Menyapu dan mengepel kamar sendiri merupakan bagian dari keajaiban. Memasak sendiri masih sering, tapi setelah itu selalu meninggalkan tumpukan panci kotor untuk dicuci asisten rumah tangga.


Memikirkan ini, saya mengerti kekhawatiran Ibu.


Di tempat tinggal baru, Ibu khawatir saya akan membiarkan debu menumpuk setebal lima senti di lantai. Semut mengerumuni piring kotor sisa siomay di pojok kamar. Handuk terdampar di kasur setelah digunakan, menguarkan bau masam karena lembap dan jarang dijemur. Saya bisa membayangkan ini, mengingat kebiasaan di rumah yang biasanya hanya bermalas-malasan depan tv dan komputer.


Tapi saya sudah merencanakan kepindahan ini sejak lama. Walaupun tidak pernah sejelas kristal, gambaran tentang pindah dari rumah dan tinggal mandiri jauh dari orang tua sudah sering disiarkan ulang di benak saya sejak lulus SMA. Waktu itu tak yakin kapan dan bagaimana, tapi yang saya tahu, begitu ada kesempatan untuk hidup sendiri, saya akan mengambil kesempatan tersebut.


Bukannya tidak senang tinggal dengan orang tua. Oh, kalau makanan lezat selalu terjamin dan dompet terisi dengan ataupun tanpa meminta, siapa yang tidak senang? Tapi itulah, saya merasa kalau terus-terusan tinggal dengan mereka, saya tidak akan berkembang melebihi yang saya mampu, berbeda dengan jika tinggal sendiri.


Setiap dari kita butuh yang namanya aktualisasi diri. Itulah mengapa manusia butuh pencapaian, sekecil apapun. Maka bagi saya, pindah dari rumah orang tua adalah awal dari proses aktualisasi diri. Saya ingin belajar merasakan lapar dan tidak ada masakan tersaji di meja makan. Belajar bersusah payah mengejar angkutan umum, berdesak-desakan dengan wajah-wajah yang tidak familiar lainnya. Saya ingin belajar mengorganisasi diri, menentukan timeline dan mendisiplinkan diri. Mungkin mudah bagi orang lain, tapi bagi saya sangat sulit jika saya tidak keluar dari rumah orang tua saya yang sangat nyaman itu.


Selama saya masih tinggal dengan orang tua, saya akan tetap menjadi anak-anak karena diperlakukan seperti anak-anak. Jika terus begitu, bagaimana saya bisa berkembang?


Keadaannya tentu berbeda untuk setiap orang. Yang jelas saya tahu, saya membutuhkan kepindahan ini. Sama seperti saya meminta untuk tidak ditunggui ibu di hari kedua di taman kanak-kanak, saya butuh ini untuk mengatakan: 'Saya sudah besar.'


Mobil yang membawa keluarga saya kembali ke Bandung terlihat semakin mengecil. Meninggalkan saya untuk mengurus diri sendiri mulai saat ini. Saya sudah besar.

Daisypath Anniversary Years Ticker

Selamat Datang!

Ini adalah bagian kecil dari dunia saya, sepenggalan cerita. Setelah saya memutuskan bahwa Buon Giorno, Principessa! akan menjadi rumah bagi pikiran-pikiran yang tertuang dalam bahasa Inggris, saya merasa memerlukan ruang baru bagi celoteh-celoteh bahasa ibu yang kerap bising memenuhi benak ini. Maka, inilah dia. Cerita Principessa. Suatu ruang baru dalam kisah saya, yang suka dipanggil Principessa. Ruang pikiran, yang (semoga) lebih bersahaja karena bahasanya lebih kau kenal untuk kau resapi maknanya.

Maka selamat datang! Tak perlulah terburu-buru pulang..

Menyapa

Menyapa
Dalam ranah maya, sebut ia 'Principessa'. Di dunia nyata, ia hanya gadis kecil yg senang bercerita...

Yang disuka

Yang disuka
buku-buku

arsitektur

hot chocolate

sensasi kesendirian di kota asing

LOVE. don't we all? =)
Powered By Blogger

Para Pendatang