Tentang Menjadi Orang Tua: Sebuah Refleksi dari Sudut Pandang Seorang Anak



Berada jauh dari orang tua sebagai seorang Pengajar Muda memberikan saya banyak waktu untuk berpikir banyak mengenai pola pengasuhan orang tua. Kesempatan ini juga membuat saya lebih mengapresiasi cara-cara yang dilakukan orang tua saya untuk membesarkan dan mendidik saya dan adik-adik saya, meskipun dalam perjalanannya saya sering tak setuju dengan cara mereka. Namun berada jauh dari mereka membuat saya melihat segalanya dengan kaca mata yang berbeda dan mempengaruhi pandangan saya mengenai bagaimana pendidikan orang tua yang seharusnya.

Pertama-tama, kedua orang tua saya datang dari latar belakang keluarga yang cukup religius. Tak terelakkan, mereka memperkenalkan nilai-nilai agama sejak dini kepada saya dan adik-adik saya. Sejauh-jauh saya melemparkan memori masa kecil saya, pasti ada kenangan belajar mengaji di masjid dekat rumah bersama teman-teman di sore hari. Pun ketika kami pindah ke Bandung, mereka memasukkan saya ke SD Islam. Di sanalah saya mulai mempelajari segala yang saya perlu tahu mengenai ajaran Islam. Sedini ini pulalah saya mulai mempertanyakan esensi dari setiap ajaran, karena lingkungan sekolah yang membiasakan berpikir kritis. Saya rasa lingkungan keluarga dan sekolah yang demikian lah yang mendukung saya untuk mulai mengembangkan pemikiran spiritual yang kuat sejak dini.

Meski religius, keluarga saya juga cukup demokratis dalam mendukung anak-anaknya meraih cita-cita. Saya ingat suatu percakapan yang terjadi di ruang keluarga kami sebelum saya berangkat ke Amerika Serikat dalam rangka pertukaran pelajar Youth Exchange and Studies (YES) yang diselenggarakan AFS dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, kala itu beberapa relawan AFS datang untuk mewawancarai keluarga saya. Salah satu relawan tersebut bertanya, “Salah satu kekhawatiran terbesar bagi orang tua ketika mengirimkan anak-anak mereka ke luar negeri adalah perbedaan budaya antara negara asal dan negara tujuan. Apakah Bapak dan Ibu tidak khawatir anak Bapak akan terpengaruh hal-hal negatif, seperti minum alkohol, pergaulan bebas, dan semacamnya?” Jawaban Ayah saya saat itu masih terngiang-ngiang di kepala saya hingga kini, “Kami sudah mengajarkan semua nilai-nilai agama yang perlu ia ketahui sepanjang hidupnya. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Sekarang adalah saatnya untuk anak kami memutuskan sendiri, apa yang sesungguhnya baik dan buruk. Tanpa pengalaman ini, ia tak akan pernah benar-benar memahami, apakah hal-hal buruk tersebut memang buruk baginya.”

Saya merasa beruntung telah dibesarkan oleh orang tua seperti beliau.

Dalam pelatihan Indonesia Mengajar yang harus saya ikuti sebelum mengajar di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur; Bapak Munif Chatib – edukator yang menulis buku Gurunya Manusia dan Sekolahnya Manusia– menekankan bahwa seorang pendidik harus selalu mengerti bahwa setiap anak memiliki ‘harta karun’ di dalam dirinya, yaitu suatu potensi yang harus didukung dan diasah sepanjang masa tumbuh kembangnya. Saya rasa hal ini berlaku pula dalam pola pengasuhan di keluarga, karena keluarga adalah pendidikan yang utama dan pertama bagi setiap anak. Orang tua seharusnya mampu menemukan ‘harta karun’ terpendam yang dimiliki anaknya, dan mengasahnya hingga menjadi berlian yang tak ternilai harganya. Hal inilah yang dilakukan orang tua saya.

Setelah adik saya didiagnosis memiliki kecenderungan ADHD (Attention Deficit and Hyperactivity Disorder) yang menyebabkannya sulit berkonsentrasi dalam waktu lama dan energi berlebih hingga cenderung hiperaktif, orang tua saya bekerja keras untuk melakukan segala hal supaya adik saya tumbuh sebagaimana anak-anak lainnya. Mereka menyadari, adik saya mungkin tak akan menjadi juara kelas, nilai-nilainya tak akan sebaik nilai teman-teman sekelasnya –hanya cukup untuk melalui setiap tahunnya– tetapi orang tua saya memegang prinsip bahwa setiap anaknya harus memiliki kebanggaan dalam hidupnya, tak terkecuali adik saya. Ketika ia duduk di kelas 2 SD, orang tua saya menemukan harta terpendam adik saya, yaitu ketertarikannya akan olah raga baseball. Sejak saat itu pula lah orang tua saya mengasah intan terpendam dalam diri adik saya, supaya ia bisa berhasil dalam olah raga yang dicintainya. Semua kerja keras itu terefleksikan dalam koleksi trophy dan medali yang ia kumpulkan, dan kini terpajang rapi di ruang duduk rumah kami, terima kasih kepada Ayah dan Ibu.

Jika kau pikir hubungan jarak jauh itu sulit, cobalah pengasuhan jarak jauh. Itu yang dilakukan orang tua saya selama bertahun-tahun.

Setelah beberapa tahun hidup bahagia di Bandung, keluarga kami mengalami krisis finansial ketika saya duduk di kelas 1 SMA. Akibatnya Ayah harus kembali memulai ulang di Jakarta, dan menjalankan bisnisnya dari sana. Pada saat itu kami sekeluarga telah merasa nyaman tinggal di Bandung, dan untuk pindah ke Jakarta merupakan suatu gagasan absurd. Akhirnya diputuskan bahwa Ayah saya akan melakukan nglaju, yakni berpindah secara mingguan antara Jakarta-Bandung, dan ini sebelum tol Cipularang dibangun, sehingga ia harus naik kereta api atau pesawat setiap senin pagi dan jumat malam. Konsekuensinya, Ibu harus membesarkan tiga anaknya sendiri akibat keadaan ini. Tapi ia berhasil melakukannya dengan baik dan berkelas.

Ibu adalah seorang yang kuat dan mandiri, saya rasa tak heran jika saya pun ingin tumbuh menjadi wanita yang kuat dan mandiri seperti ia. Kami memiliki banyak kesamaan: keras kepala, emosional, dan tak ragu menyuarakan pendapat yang kami anggap benar. Berpengalaman menikah di usia muda membuatnya melarang keras anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya. Ia selalu berkata, “Sebagai perempuan, kamu tidak boleh tergantung pada suami. Sekolah yang tinggi, raih penghasilan sendiri. Kalau sudah begitu, baru kamu boleh menikah.” Memiliki teladan seperti Ibu membuat saya tumbuh memiliki segudang ambisi dan cita-cita. Itu karena saya ingin meraih hal-hal yang tak sempat Ibu raih karena menikah di usia muda.

Namun demikian, menjadi orang tua semi-tunggal seperti Ibu bukanlah perkara mudah. Bayangkan, suatu hari anak laki-lakimu bertanya, “Bu, mimpi basah itu apa sih?” ketika kau sudah melewati suatu hari yang melelahkan dan hanya ingin bersantai meminum kopi dan menonton sinetron. Namun di situasi seperti itu Ibu hanya tertawa geli dan berkata, “Telepon ayahmu sana!” Ini bukan persoalan tabu atau tidak membahas seks di rumah kami, ini mengenai betapa hebatnya mereka menjalankan pengasuhan jarak jauh sehingga tak satu pun di antara anak-anaknya yang merasa kekurangan kasih sayang. Mereka mampu mengisi kekosongan yang direbut oleh jarak dan melengkapi satu sama lain, meski tak selalu berdiri berdampingan. Dalam pengasuhan orang tua, sangat penting bagi setiap pihak untuk mengerti perannya masing-masing.

Bagaimanapun juga, jika boleh jujur, orang tua saya pun tidak sempurna. Pola pengasuhan mereka pada awalnya pun memiliki cacad. Sewaktu kecil, saya merasakan sakitnya kekerasan verbal maupun fisik sebagai akibat dari kerasnya orang tua saya berusaha mendidik. Contohnya waktu saya duduk di kelas 1 SMP dan ingin pergi menonton film bersama teman-teman. Masalahnya, saya baru saja lulus dari SD Islam yang cukup disiplin dan melanjutkan ke SMP negeri yang aturannya lebih longgar. Orang tua saya khawatir saya akan salah pergaulan dan mengembangkan kebiasaan buruk, seperti merokok, membolos, dan sebagainya.Maka orang tua saya melarang pergi menonton tanpa pengawasan orang dewasa. Akibatnya terjadi perdebatan panjang, suatu hal yang tak asing di rumah saya pada masa itu.

Pahitnya pengasuhan keras orang tua saya alami selama saya kecil, padahal saya yakin saya bukan anak yang nakal. Saya selalu mempertahankan prestasi belajar tak kurang dari peringkat tiga besar di kelas. Kerasnya orang tua membuat saya tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan sekaligus tertutup. Lambat laun orang tua saya menyadari bahwa kekerasan bukanlah teknik pengasuhan terbaik. Kini mereka bersikap lebih lunak dalam menghadapi adik-adik saya.

Pada suatu titik saya bersumpah tidak akan menjadi seperti orang tua saya jika punya anak nanti, tetapi setelah menjadi guru kini, saya melihat bahwa segala hal yang tidak saya setujui dari orang tua saya menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa. Kesalahan adalah kesempatan untuk belajar, dan kekurangan seseorang sesungguhnya menyempurnakan ketidaksempurnaan. Orang tua saya tidak sempurna, tetapi saya tahu, mereka melakukan semua yang mereka bisa untuk menjadi sempurna. Jika saya refeksikan kini, tanpa pengasuhan keras yang dilakukan orang tua saya, mungkin saya akan tumbuh tanpa tekad dan cita-cita yang kuat, dan menjadi orang yang tak memiliki idealisme yang kukuh. 

Memiliki orang tua yang jauh dari ideal nyatanya berhasil. Mungkin bahkan tak ada satu cara yang ideal mengenai bagaimana mendidik anak. Seandainya saya membuang semua teknik pengasuhan yang kurang baik yang saya rasakan di masa kecil dan melahap semua buku di perpustakaan tentang parenting pun, belum tentu saya akan menjadi orang tua yang sehebat orang tua saya. Menjadi orang tua, pada esensinya, merupakan suatu proses pembelajaran yang tiada akhir.

Daisypath Anniversary Years Ticker

Selamat Datang!

Ini adalah bagian kecil dari dunia saya, sepenggalan cerita. Setelah saya memutuskan bahwa Buon Giorno, Principessa! akan menjadi rumah bagi pikiran-pikiran yang tertuang dalam bahasa Inggris, saya merasa memerlukan ruang baru bagi celoteh-celoteh bahasa ibu yang kerap bising memenuhi benak ini. Maka, inilah dia. Cerita Principessa. Suatu ruang baru dalam kisah saya, yang suka dipanggil Principessa. Ruang pikiran, yang (semoga) lebih bersahaja karena bahasanya lebih kau kenal untuk kau resapi maknanya.

Maka selamat datang! Tak perlulah terburu-buru pulang..

Menyapa

Menyapa
Dalam ranah maya, sebut ia 'Principessa'. Di dunia nyata, ia hanya gadis kecil yg senang bercerita...

Yang disuka

Yang disuka
buku-buku

arsitektur

hot chocolate

sensasi kesendirian di kota asing

LOVE. don't we all? =)
Powered By Blogger

Para Pendatang