Menyahajakan Pagi
Monday, July 16, 2012 | Posted by vienz at 5:48 PM 1 comments
Tentang Menjadi Orang Tua: Sebuah Refleksi dari Sudut Pandang Seorang Anak
Tuesday, April 17, 2012 | Posted by vienz at 8:49 AM 0 comments
Sajak Sebatang Lisong
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukung mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak – kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan – pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis – papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak – kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana – sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung – gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes – protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair – penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan
termangu – mangu di kaki dewi kesenian
bunga – bunga bangsa tahun depan
berkunang – kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta – juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus – rumus asing
diktat – diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa – desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan
RENDRA
( itb bandung – 19 Agustus 1978 )
Sunday, February 26, 2012 | Posted by vienz at 8:53 PM 0 comments
Neneng Jadi Pengibar Bendera
Ya, Neneng panggilannya. Kata guru-guru ia memang lambat dalam belajar. Beberapa murid pun entah mengapa terkadang tampak enggan berteman dengannya. Namun di rapat kelas sehari sebelumnya Neneng bersemangat mengajukan diri untuk menjadi petugas upacara. Jadi pengibar bendera, lebih tepatnya.
Memang ini sudah memasuki minggu keduaku mengajar di SDN 019 Long Kali, Desa Maruat, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Hari Senin kemarin adalah kali pertama sekolah kami kembali menghidupkan upacara bendera setelah sekian lama vakum. Yang menjadi petugas upacara di hari Senin kemarin adalah siswa-siswi kelas 6, dan minggu berikutnya giliran murid kelas 5 yang menjadi petugas. Untuk membiasakan budaya musyawarah di sekolah, kubiasakan murid-murid sendiri yang menentukan siapa yang menjadi petugas upacara dalam musyawarah kelas. Ketika Neneng mengajukan diri, semua setuju. Kulihat matanya berbinar-binar penuh semangat. Namun mengapa hari ini ia tampak sedih?
"Kata teman-teman saya bodoh, Bu. Tidak bisa diajari. Tidak bisa jadi petugas," ujar Neneng, masih dengan berlinangan air mata.
Tentu aku semakin terkejut. Bukannya tidak biasa menemukan anak-anak mengata-ngatai temannya sendiri, namun kali ini kulihat sendiri di depan mataku seorang anak betul-betul 'patah hati' akibat dari perkataan temannya sendiri.
"Betulkah ada yang menyebut Neneng tidak bisa diajari?" tanyaku. Semua diam. Salah satu murid akhirnya menyahut, "Yang bilang anak kelas 6, Bu!"
Aku terdiam. Tak ada gunanya juga mencari-cari siapa yang mengatakan apa. Bisa makin panjang urusan.
"Teman-teman, ketika seseorang mengajukan diri untuk jadi petugas, tandanya apa?" tanyaku. Murid-muridku saling pandang, mungkin bingung mau menjawab apa. "Itu tandanya dia mau belajar. Betul tidak?" tukasku lagi.
"Betul, Bu!" sahut mereka.
"Nah, kalau teman kita mau belajar, apa boleh kita menghalangi?" ujarku.
"Tidak, Bu!"
"Kalau begitu kita berikan kesempatan kepada Neneng untuk belajar ya? Semua setuju ya?"
"Setuju, Bu!"
Ketika kukira kami bisa lanjut untuk mulai belajar, tiba-tiba Neneng menyambung, "Sudah, Bu. Saya mundur saja, ndak jadi petugas." Rupanya masih dongkol ia. "Sudah, sudah. Lupakan. Ibu yakin kamu bisa, jadi kamu juga harus yakin ya?" Sedih rasanya melihat perkataan teman menjatuhkan kepercayaan dirinya seperti itu. Namun akhirnya kuyakinkan Neneng untuk tetap menjadi petugas pengibar bendera Senin depan.
Petugas upacara berlatih setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu menjelang upacara. Maka Kamis pagi sebelum kelas masuk kupanggil Neneng beserta dua kawan pengibarnya, Jais dan Lutfi, untuk berlatih. Awalnya memang sulit melatih anak-anak yang tidak terbiasa dengan baris berbaris ini untuk bisa berbaris dalam gerakan yang teratur dan seragam. Kulihat Neneng bahkan beberapa kali nyaris putus asa karena ia merasa kesulitan menghapal aba-aba dan gerakan-gerakan yang harus dilakukan. "Bu, saya mundur saja Bu, saya tidak bisa," tukasnya. Namun aku bersikeras, "Ibu yakin kalian bertiga bisa. Ayo kita latihan satu kali lagi!"
Kalau boleh jujur, aku memang merasa sedikit khawatir dengan petugas upacara kali ini. Minggu lalu ketika melatih kelas 6, rasanya tidak sesulit ini. Tapi kuingat pesan Pak Munif Chatib di pelatihan intensif Pengajar Muda, setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Sebagai pengajar, kita harus sabar dalam membuka 'peti harta karun' yang dimiliki setiap anak. Namun rupanya kesabaran murid ada batasnya juga. Sudah bosan mereka kuminta berkali-kali mengulangi gerakan jalan di tempat dan langkah tegak maju jalan. Akhirnya kuizinkan mereka untuk menghentikan latihan di hari Jumat, untuk dilanjutkan di hari berikutnya.
Di hari Sabtu, aku harus pulang lebih awal karena harus menuju Tanah Grogot untuk rapat koordinasi dengan tim Paser. Oleh karena itu kutugaskan petugas upacara minggu lalu, yaitu siswa-siswi kelas 6 untuk melatih adik-adiknya. Ini sengaja kulakukan, supaya timbul kesadaran dari diri siswa sendiri untuk saling membantu dalam latihan upacara. Supaya ke depannya mereka tidak harus bergantung pada guru maupun PM yang bertugas di sekolah tersebut untuk menjalankan upacara. Sepanjang perjalanan menuju Tanah Grogot dan kembali pulang, tak henti-hentinya aku berdoa, semoga Neneng dan kawan-kawan dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Akhirnya hari Senin yang ditunggu-tunggu datang juga. Kupasangkan selempang bertuliskan 'Petugas Upacara' pada murid-murid yang bertugas. Kuajak semua petugas untuk menyatukan tangan dan berdoa bersama sebelum menjalankan tugasnya.
Tibalah giliran Neneng, Lutfi, dan Jais mengibarkan bendera. Diam-diam kusilangkan jari-jari tangan di belakang punggung, berdoa semoga tidak terjadi kesalahan. Namun ternyata dugaanku salah. Dengan lancar Neneng sebagai pembawa bendera memimpin aba-aba baris berbaris yang awalnya sulit ia hapalkan itu. Pun ketiga muridku itu dengan gagah mampu membawa Sang Merah Putih berdiri tegak di puncak tiang. Ketika mereka kembali ke barisan, aku bertepuk kecil di belakang. Kuacungkan dua jempol. Neneng tersenyum senang.
Ketika tiba giliran kelas 4 berlatih upacara di Jumat berikutnya, kulihat Neneng dengan bersemangat membantu adik kelasnya berlatih. Rasa malu dan tidak percaya diri tak kulihat lagi di wajahnya. Aku bangga, Neneng berhasil jadi Pengibar Bendera. :)
Oktavina Q. Ayun
Pengajar Muda Paser
Saturday, November 26, 2011 | Posted by vienz at 11:13 PM 0 comments
#SelamatkanAnakBangsa : Cintai Buku, Matikan Televisimu
Di dalam era informasi sekarang ini, informasi mengalir deras dengan cepatnya, hingga terkadang sulit untuk memilah-milah informasi mana yang baik dan informasi mana yang buruk. Televisi berperan besar dalam mempengaruhi perilaku generasi muda dengan mudah ke arah yang negatif: mempengaruhi mental, sikap, pola pikir, gaya hidup konsumtif, dan lain-lain. Sebut saja sinetron-sinetron yang seringkali tidak menawarkan pesan moral yang baik --perilaku tidak sopan terhadap yang lebih tua, bersikap kasar pada teman sebaya-- (ditambah akting yang buruk dan alur cerita yang klise), atau reality show semakin terlihat tidak real, serta infotainment yang mengaburkan nilai-nilai prinsipil yang perlu kita pegang. Di atas semua itu, televisi menjadikan bangsa kita bangsa yang dramatis: segala hal dijadikan drama berlebihan: kekalahan di kontes dihadapi dengan tangisan, sidang wakil rakyat menjadi bahan tertawaan). Apa yang betul-betul dapat kita pelajari dari berjam-jam menonton televisi? Mana kontrol yang sepatutnya dilakukan oleh otoritas atas informasi yang dapat diserap pemirsa, terutama generasi muda?
Di kala lembaga pertelevisian kita menolak untuk memilah-milah hal tersebut untuk kita, tangan kita lah yang memegang kontrol: Matikan televisimu! Mulailah membaca buku.
Sangat banyak yang dapat kita peroleh dari sebuah buku. Banyak cerita rakyat Indonesia yang mengajarkan kepahlawanan dan sikap santun terhadap orang tua, hal-hal yang mengingatkan kita akan identitas diri sebagai bangsa timur. Hidupkan kisah perjuangan para pahlawan, supaya generasi muda lebih menghargai perjuangan meraih kemerdekaan, dan menumbuhkan rasa cinta tanah air. Pergi berpetualang ke Mesir atau Lembah Amazon, pelajari kebudayaan dan peradaban baru. Gunakan imajinasi dan rasakan petualangan yang mendebarkan!
Buku membuka ranah imajinasi, membiarkan kepribadian kita berkembang kepada segala kemungkinan, membuka forum-forum diskusi yang mendekatkan hubungan persaudaraan, membawa kita ke tempat-tempat baru tanpa harus jauh-jauh beperjalanan, dan membiarkan kita bermimpi setinggi-tingginya, membentuk cita sejak dini. Ajak adik, keponakan, anak-anak kita untuk belajar mencintai buku. Bacakan mereka buku, jauhkan mereka dari televisi, terutama dari program-program yang kurang mendidik. Pun ketika menonton tv, bantu mereka memilah mana program yang baik, dan matikan tv ketika sudah waktunya untuk tidur dan belajar. Bawa mereka bermain ke luar: hidupkan petualangan yang tadinya hanya dinikmati secara pasif dari tayangan televisi. Jangan biarkan generasi muda menjadi generasi yang terpaku pada kotak 32 inci, yang tak bisa mengembangkan khayalan dan kepribadiannya sendiri.
Matikan televisi, dan mulailah membaca buku. Biarkan otakmu berpikir untuk dirimu sendiri, jangan biarkan televisi berpikir untukmu. Sisihkan waktu untuk membaca, membacakan buku untuk adikmu, dan mendiskusikan isi buku dengan seluruh anggota keluarga. Selain menghemat energi, kegiatan ini juga bisa meningkatkan intensitas kegiatan yang bisa dilakukan bersama-sama.
Membaca buku juga merupakan kegiatan yang murah sebetulnya, sayangnya tak semua keluarga Indonesia memiliki akses untuk memperolehnya. Oleh karena itu, coba tengok sekelilingmu. Adakah masyarakat yang membutuhkan akses kepada bacaan-bacaan bermutu? Mengapa tidak menggalang buku-buku dari perpustakaan pribadimu atau kawan-kawanmu untuk dibuat taman bacaan atau perpustakaan di komunitas yang membutuhkan? Atau coba akses @Penyala, dan mungkin seorang anak dari pulau terluar Indonesia dapat menikmati petualangan favoritmu ketika kecil dulu. Aksi-aksi sederhana yang dimulai dari diri sendiri dapat menjadi pemicu untuk menjadikan Indonesia ke arah yang lebih baik. Maka, mari bersama-sama #SelamatkanAnakBangsa. Jauhkan mereka dari pengaruh negatif yang bersumber dari media. Cintai buku, matikan televisimu.
Wednesday, July 27, 2011 | Posted by vienz at 8:45 AM 2 comments
Labels: perubahan
Selamat Datang!
Yang disuka
Etiquetas
- #whyonlywhite (1)
- arsitektur (1)
- cerita principessa (2)
- perspektif (3)
- perubahan (1)
- prosa (1)
- sok-sok-an bicara politik (1)
- tentang hidup (7)