Selama ini kurasa pagi adalah sosok yang angkuh. Sayap
emasnya merentang megah, redupkan kejora. Batang hidungnya menengadah angkuh,
selagi manusia-manusia di penjuru dunia berkejaran untuk mendapatkan yang
terbaik darinya.
Senja berbeda. Ia bersahaja. Dengan sengaja membungkukkan
dirinya – mengalah untuk meredup – membuka jalan untuk mimpi-mimpi saling
bertautan.
“Namun pagi yang hembuskan nyawa pada mimpi-mimpi, berikan
mereka kaki-kaki untuk berlari,” tukasmu. Aku terhenyak mengetahui kau masih di
sisiku. Kau, yang selalu menyahajakan pagi.
Berlari. Itulah segalanya tentangmu. Kau menolak stagnansi.
Kau hanya, dan senantiasa, berlari pada kecupan pertama pagi. Tak pernah
terlihat lagi hingga senja mengetuk dan kau kutemukan, namun tak pernah untuk
kugenggam.
“Itu semua hanya ilusi!” sanggahku, “Kau kira berapa banyak
orang patah hati karena pagi? Ia padamkan mimpi yang kutitipkan bersama canda
bintang-bintang!”
Kau tergelak dalam renyah tawamu yang biasanya. “Hanya
mereka yang terlalu takut menggenggam realita yang menolak untuk merengkuh
pagi.”
Kata-katamu menohokku telak, dan aku terdiam. Kau adalah
perpaduan absurd antara udara malam dan Absynthe yang ditenggak pukul dua dini
hari. Pelukanmu terasa, sentuhanmu menyengat, namun kehadiranmu tak pernah bisa
terdefinisi.
Tentang pagi, dan tentangmu, tak pernah sederhana. Ia kompleks,
dalam belitan eskapologi rasa. Kau menyongsong pagi untuk berlari dari hari
kemarin. Sementara aku bersusah payah berdiri pada batas, mempertahankan tautan
tipis antara mimpi dan memori.
Pagi menggantungkan paras wajahmu di batas angan, sementara
malam hadirkannya dalam realitas maya, walau temaram.
Tapi kau takkan pernah mengerti, betapa ku takkan pernah
bisa menyahajakan pagi. Yang lenyapkan hangatmu dalam kibarannya di kisi-kisi
jendela. Yang membuatku terbangun tanpa sempat kecupkan selamat jalan pada
bayanganmu yang menghilang di luar pagar rumahku.