Seorang Peri Kecil yang pergi meninggalkan sarangnya terlalu cepat. Sayapnya belum lagi tumbuh sempurna, namun ia nekat terbang meninggalkan sarangnya yang nyaman. Tidak. Sarang itu tak lagi hangat. Dulu memang ia temukan kebahagiaan di sana. Namun telah beberapa lama, kehangatan itu tak lagi terasa. Dan ia sering menemukan dirinya terkapar lemah tanpa perlindungan, kulitnya terasa perih dan rapuh diseka udara yang terdiam.
Peri Kecil memutuskan untuk terbang, walaupun sayapnya belum berubah keemasan. Aku tak butuh sayap-sayap keemasan yang hanya memikat pekatnya malam, aku hanya ingin melihat dunia dan warna-warna pelangi yang mereka bilang indah mempesona, katanya. Dan maka terbanglah ia.
Peri-peri yang lebih tua berusaha menahannya, katanya dunia luar itu keras, dan ia takkan bisa menghadapinya sendirian. Terlebih lagi sayapnya belum tumbuh sempurna. Namun Peri Kecil tak peduli, katanya ia akan temukan jalannya sendiri.
Dalam dingin dan kegelapan, Peri Kecil melayang ke sana kemari. Mencoba mencari jalan di antara akar-akar pohon yang menjuntai mengancam, di antara lolongan binatang malam yang menakutkan. Tanpa cahaya ia berjalan, genggaman yang mengisi sela-sela jarinya hanyalah genggaman tangannya sendiri.
Lalu ia melihatnya ketika kegelapan malam berganti fajar, kemudian senja menyela di satu hari yang melelahkan. Ketika kaki-kakinya tak kuat lagi berjalan, dan sayap-sayapnya telah tersayat-sayat nyaris hancur menjadi abu; ia menemukannya: kaki pelangi yang selama ini menghiasi mimpinya. Lengkungan indah yang menggambarkan senyuman surga.
Seketika bahagia mengisi setiap jengkal tubuh kecilnya. Sakit, perih, dan dingin tak lagi terasa. Seolah tubuh mungilnya dapat menyerap energi dunia. Bibirnya membentuk lengkungan serupa raga pelangi, itulah senyuman sang Peri Kecil yang telah lama tak terlihat di wajahnya.
Peri Kecil tak ingat lagi telah berapa lama ia berada di sana. Yang ia ingat hanyalah, setiap harinya adalah momen-momen yang istimewa. Baginya, terbangun di pagi hari dan melihat pelanginya masih ada di sana menemaninya adalah kebahagiaan yang tak tergantikan. Bahkan di Kerajaan tempatnya berasal, kebahagiaan semacam itu tak pernah ada. Nun jauh di sana, Sarangnya semakin terasa hampa tertimbun debu, kesunyian, dan jaring laba-laba.
Ya, terkadang ia teringat akan masa lalunya di sana. Dan sebagian kecil dirinya mungkin masih merindukan. Tetapi ia ingat Sarang itu tak dibangun di atas pondasi yang kokoh, lama kelamaan ia akan roboh ketika tak tahan lagi menahan ego dan kerinduan. Sarang itu menjadi fenomena yang terlalu menyedihkan, hingga Peri Kecil memutuskan untuk pergi. Peri Kecil terkadang merindukan hari-hari indah yang pernah dilewatinya di sana. Tapi bila mengingat fenomena yang menyedihkan itu, wajahnya jadi tampak murung, dan Pelangi tak suka melihatnya muram.
Ketika malam tiba, Pelangi kirimkan Purnama untuk terangi hatinya. Biarkan ia terlelap dalam mimpi indah disinari cahaya. Dalam tidurnya ia memeluk Pelangi, ia dekap erat-erat dan tak dibiarkannya pergi.
Suatu hari Peri Kecil terbangun menyadari sayapnya tlah tumbuh dengan sempurna. Rupanya kebahagiaan merupakan obat terbaik untuk semua luka. Peri Kecil terbang dengan riang meniti indahnya dunia.
Satu hal yang membedakannya dengan peri-peri lain di dunia: sayapnya tak berubah keemasan; melainkan berwarna-warni serupa rona Pelangi.
2 comments:
Vivien, minta izin ngelink kesini ya :)
Oia, ini andreas
iya..silakan.. :)
Post a Comment